Hidayatullah.com– Kalangan industri batik Malaysia meminta dukungan promosi dari pemerintah, kata para pakar menanggapi instruksi dari pemerintah federal yang mengharuskan aparat sipil negara (ASN) mulai mengenakan pakaian batik setiap hari Kamis.
Mereka mengatakan Malaysia tidak seperti Indonesia di mana penggunaan batik sudah lebih membudaya dan dipakai dalam berbagai ritual, festival dan perayaan, sementara gaya batik tertentu sudah dinyatakan oleh UNESCO sebagai warisan budaya tak benda.
“Terlepas dari seberapa maju teknologinya, batik di Malaysia masih membutuhkan bantuan untuk mempromosikan industri batik,” kata Harozila Ramli, seorang profesor di Universiti Pendidikan Sultan Idris, kepada Malay Mail.
“Di dalam sektor tekstil, ada kompetisi dalam hal desain, teknik dan jenis kain,” katanya wanita pakar urusan batik itu seperti dikutip Malay Mail Sabtu (26/8/2023).
Di Indonesia, batik memiliki pengaruh ekonomi yang signifikan disebabkan industrinya merupakan ekspor penting yang membuka banyak lapangan kerja, imbuhnya.
Harozila mengatakan bahwa instruksi pemerintah untuk mendorong ASN mengenakan batik juga akan memastikan keberlanjutan teknik tradisional pembuatan batik, memberikan para artisan lokal untuk memamerkan hasil karya mereka, menciptakan peluang ekonomi di dalam industri itu.
Hari Selasa (22/8/2023), Jabatan Perkhidmatan Awam mengeluarkan surat edaran yang mengharuskan semua ASN yang tidak berseragam untuk mengenakan batik setiap hari Kamis dan mendorong mereka juga untuk mengenakan pakaian itu pada hari-hari kerja lain.
JPA mengatakan langkah itu merupakan upaya untuk mendukung industri batik Malaysia, dan melestarikan batik sebagai bagian dari warisan budaya dan simbol identitas bangsa.
Tahun lalu, Menteri Besar Selangor dikabarkan akan mendorong penggunaan pakaian batik oleh wakil-wakil dewan rakyat lokal ketika menghadiri rapat di tingkat parlemen federal.
Datuk Seri Amirudin Shari
Sebelum itu pada 2021, presiden Dewan Negara kala itu Tan Sri Rais Yatim memperbolehkan anggota Senat untuk mengenakan batik ketika menghadiri rapat-rapat di majelis tinggi parlemen Malaysia.
Zubaidah Sual, seorang pakar tekstil dan mantan kurator di Muzium Negara, agak skeptis perihal pengaruh positif instruksi pemerintah tersebut terhadap industri batik lokal.
Menurutnya, sementara instruksi pemerintah itu akan menjadikan ASN lebih sering mengenakan batik, tetapi kebiasaan itu lebih karena kewajiban atau paksaan dan bukan sebagai bentuk apresiasi terhadap seni batik.
“Berbeda dengan orang Indonesia. Ketika mereka mengenakan batik, mereka seperti merasa memenuhi tanggung jawab terhadap tanah air mereka,” katanya, seraya menambahkan bahwa begitu seringnya orang Indonesia mengenakan batik sampai-sampai mereka tidak peduli apakah batik itu didesain atau dibuat di luar negeri.
Zubaidah mengaku tidak yakin kemana arah tujuan industri batik lokal dan dia meyakini Malaysia tidak akan dapat menyaingi Indonesia dalam industri ini.
Hanya sedikit batik buatan Malaysia yang dijual di bawah RM100 per item, sehingga mereka yang tidak mampu membeli buatan dalam negeri akan melirik batik Indonesia yang dengan mudah diperoleh dengan harga hanya RM50, imbuhnya. (RM1 sekitar IDR3.300)
Namun, kondisi itu tidak sepenuhnya buruk menurut Keith Tan Kay Hin, associate professor dari jurusan arsitektur, bangunan dan desain di Taylor University.
Dia mengatakan bahwa produksi batik sebagai industri rumahan sudah ada di Jawa lebih dari 5 abad untuk memenuhi kebutuhan kerajaan-kerajaan Jawa pada masa abad ke-16.
Sebagai perbandingan, produksi massal batik di Malaysia baru dimulai sekitar 100 tahun silam, paparnya.
“Jebakan masyarakat berpendapatan menengah di Malaysia berarti bahwa sebagian besar pakaian yang terjangkau di pasar massal berasal dari negara-negara berkembang yang berbiaya lebih rendah, dimana pabrikan lokal sering kali bersaing dengan merek-merek Barat kelas atas yang mungkin memiliki atau tidak memiliki pabrik di Asia Tenggara,” katanya.
Batik tulis bisa jadi lebih mahal, tetapi batik buatan mesin sebagai alternatifnya juga tidak kalah cantiknya, kata Keith Tan Kay Hin.
Industri batik Malaysia berusaha menguasai pasar kelas atas maupun bawah, tetapi struktur besaran pasar dan ongkos produksi di Malaysia akan sulit menandingi posisi dominan batik Indonesia.
Meskipun demikian, profesor batik itu masih berpikiran positif.
“Batik, bagaimanapun juga, sama seperti durian – banyak orang di seluruh dunia menyukai jenis yang relatif langka dari Malaysia dibandingkan dengan jenis yang relatif lebih umum dari Thailand,” katanya.
“Mungkin kita bisa berharap hal yang sama berlaku pada batik – efek ‘Sang Kancil’, di mana kelangkaan justru membawa pada kepopuleran yang lebih besar,” imbuhnya.*