Hidayatullah.com—Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Ajengan Wawan Gunawan Abdul Wahid, dengan tegas menyatakan bahwa korupsi adalah tindakan pidana yang dapat mengakibatkan bangkrutnya sebuah negara.
Pernyataan di atas disampaikan dalam acara Rapat Kerja Tingkat Wilayah dan Seminar Nasional Majelis Tarjih dan Tajdid PW Muhammadiyah DI Yogyakarta, yang diselenggarakan di Aula Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan hari Ahad (27/08/2023).
Menurut Ajengan Wawan, dalam Islam terdapat tiga istilah yang merujuk kepada korupsi. Pertama, ghulul atau penggelapan. Kedua, ad dalwu ila al-hukkam atau memengaruhi hakim dengan tujuan memperoleh keputusan yang diinginkan. Ketiga, risywah atau penyuapan.
Wawan menyampaikan kisah seorang sahabat Nabi Muhammad ﷺ yang meninggal pada peristiwa Khaibar. Kisah ini memberikan pelajaran berharga tentang pandangan Islam terhadap korupsi dan konsekuensinya.
Peristiwa tersebut terjadi ketika seorang sahabat yang ikut dalam peristiwa Khaibar meninggal dunia. Para sahabat berharap agar Rasulullah ﷺ mensalati jenazahnya, tetapi beliau tidak setuju.
Sebaliknya, Baginda Nabi menyuruh para sahabat untuk “Shalati teman kalian.” Reaksi spontan dari para sahabat adalah wajah mereka berubah, karena mereka tidak memahami mengapa Rasulullah ﷺ berbuat demikian dalam situasi seperti itu.
Namun, Rasulullah ﷺ dengan bijak menjelaskan alasan di balik tindakannya. Beliau mengatakan bahwa sahabat yang telah meninggal tersebut telah melakukan korupsi saat berperang dalam jihad fi sabilillah, dimana melibatkan pencurian manik-manik milik orang Yahudi, yang nilainya sangat kecil, kurang dari dua dirham.
Berdasarkan kisah di atas, tindakan korupsi dalam Islam sangatlah serius. Rasulullah ﷺ menunjukkan bahwa orang yang mati dalam kondisi su’ul khatimah, yang berarti dia melakukan tindakan buruk seperti korupsi, disarankan agar tokoh agama tidak mensalati jenazahnya.
Hal ini bukan hanya sebagai hukuman sosial bagi pelaku korupsi, tetapi juga sebagai pembelajaran bagi masyarakat untuk tidak terlibat dalam perilaku yang merusak.
“Kisah dari hadis ini mengingatkan kita bahwa korupsi dalam segala bentuknya adalah tindakan yang harus dihindari. Bahkan korupsi dalam hal yang sangat kecil sekalipun, seperti mencuri barang yang nilainya sangat murah, tetap dianggap sebagai tindakan yang salah dan merugikan,” terang Ajengan Wawan.
Sebelumnya, tahun 2011 Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj, menegaskan ulama dan pejabat dalam organisasi keagamaan yang dipimpinnya dilarang menyalatkan jenazah seorang koruptor.
“Kami kembali tegaskan, berdasarkan Muktamar NU Tahun 1999, kami melarang kiai dan elit di PBNU menyalatkan jenazah koruptor,” ujar Said Aqil pada acara Deklarasi Anti Korupsi di kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Kamis (26/5/2011).*