Hidayatullah.com—Seorang mahasiswa Al-Azhar al Syarif menerima tantangan seorang YouTuber yang popular dipanggil Guru Gembul (GG) adu debat masalah ketuhanan.
Muhammad Nuruddin, yang juga seorang penulis buku-buku keislaman ini menulis di akun Facebook-nya terkait tawaran tantangan YouTuber yang sering mengkritik dunia pendidikan tersebut.
“Waktu ditantang Guru Gembul posisi saya sedang jogging di kejauhan 5 kilo dari rumah. Sampai rumah langsung saya respon. Tak lama setelah itu ia pun merespon balik. “Oke jadwalkan”, kata Pak Guru. Pihak yang saya harap bisa memediasi, tim Keira Publishing, sudah menyetujui dan akan menyewakan tempat. Info terbaru mereka sedang menunggu jadwal kosong di UIN Jakarta,” ujar penulis “Runtuhnya Teori Polemik Kitab Suci” ini.
“Kalau jadi, mungkin kita akan diskusi di sana. Kalau tidak, mungkin di tempat lain. Silakan hubungi tim terkait jika ada kampus atau lembaga lain yang ingin menyediakan tempat,” tambah penulis buku-buki mantiq ini.
Ia berharap apa yang dilakukan ini bisa ditiru siapapun. Apalagi jika ada seseorang yang menggugat dan mempertanyakan hal serius dalam masalah agama.
“Tidak terkecuali para pembatal Nasab Ba’alawi, yang kesahihannya telah disepakati oleh para ahli. Kalau sudah bicara kesana-kemari, diundang ke berbagai tempat, menyatakan siap debat 3 hari 3 malam, tapi ketika diundang tidak datang, maka itu jadi pertanyaan besar. Sekaligus mengecewakan banyak orang,” ujarnya.
Sebelum ini, YouTuber GG telah menulis kalimat tantangan di akun Instagram-nya yang ditujukan kepada para akademisi dan ditembuskan kepada Muhammad Nuruddin dan Hanif Al-Attas, menantu Habieb Rizieq Shihab.
“Assalamu’alaikum, bagi baraya siapapun saya tantang, tunjukan kepada saya metodologi Ilmiahnya Allah, mau siapapun termasuk akademisi silahkan coba cari bagaimana cara mengilmiahkan Allah @mnuruddin1994 @HabibHanif Al Athos, “tulisnya di akun @GuruGembul hari Sabtu (15/9/2024) di IG.
Dalam unggahannya itu Guru Gembul menantang siapa saja yang bisa membuktikan Allah Subhanahu Wata’ala secara ilmiah.
“Ketika saya mengatakan bahwa Allah Subhanahu wata’ala dengan berbagai atributnya itu tidak bisa diilmiahkan. Sejauh yang saya ketahui justru sebaliknya, kaum muslimin arus utama; baik yang namanya sunni maupun yang namanya Syiah, mau yang namanya Mu’taziyah, mau yang namanya Sufi, mau yang namanya Wahabi, atau kelompok Sunnah atau apa segala rupa itu, bersepakat bahwa Allah memang tidak bisa untuk diilmiahkan,” ujar dia dalam unggahannya saat menantang pada akademisi.
“Apalagi begini baraya, kalau misalkan mau ya kita belajar sedikit sama-samalah, kalau baraya tidak bisa menerima definisi ilmiah yang saya ajukan, padahal sebenarnya gampang sih, bisa nanya ke ilmuwan mapapun bebaslah, gratis.”
“Setidaknya maka saya ingin sampaikan bahwa ilmiah itu melibatkan satu pembuktian indrawi, kemudian penelitian dan observasi, kemudian pengujian yang bisa diterapkan berulang-ulang, kemudian pernyataan dan klaim dari otoritas akademik, kemudian hipotesis yang didasarkan pada pertanyaan, dan penggunaan rasio. Nah, itu silahkan dibolak-balik”,” dalam video unggahannya.
Menurut GG, dengan menggunakan hukum logika, maka seseorang akan bisa mendefinisikan dan mengkategorikan sesuatu. Sementara baginya, dengan metode ilmiah, akan susah memasukkan Allah Subhanahu wata’ala.
“Kan begitu baru kita membangun definisi. Nah, kita tidak bisa mengelompokkan Allah Subhanahu Wataala pada satu kelompok tertentu, karena tidak ada yang serupa dengannya. Dan karena tidak bisa dikelompokkan, maka tidak bisa didefinisikan,” ujarnya.
“Allah Subhanahu Wata’ala itu adalah entitas yang kita pahami sebagai yang Maha ideal, dan Maha mutlak, dengan segala hal yang tidak terjangkau alias transenden. Nah, karena itu maka tidak mungkin sesuatu yang ideal dan transenden itu bisa kita capai dengan metodologi ilmiah,” ujar pria yang menurut Wikipedia memiliki pendapatan per bulan mencapai $1.7K – $27.2K (sekitar Rp26.134.100 sampai Rp372.026.600) dari perolehan konten YouTube-nya.
Menjawab tantantangan GG, Muhammad Nuruddin mengaku dengan senang hati akan meladeni. Menurutnya, tradisi debat ilmiah merupakan keteladanan intelektual ulama.
“Saking besarnya perhatian mereka tentang hal ini, sampai-sampai mereka membuat satu disiplin ilmu secara khusus untuk mengatur tatacara berdebat. Yaitu ilmu jadal, atau adab al-bahts wa al-munazharah (versi indonya sudah saya tuangkan dalam buku Ilmu Debat). Ilmu itu tidak dirangkai berdasarkan iman. Tapi kaidah-kaidah rasional yang bersifat universal. Kalau mau debat secara ilmiah, maka kita perlu menggunakan kaidah ilmu.
Meski demikian, ia mengingatkan YouTuber yang juga alumni Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung yang sering menuntut pembuktian keilmiahan agama dan ketuhanan.
“Saya berharap Guru Gembul tidak hanya menuntut orang untuk menyajikan bukti ilmiah atas keberadaan Allah. Tapi dia juga harus menyampaikan apa bukti ilmiah bahwa akidah ketuhanan itu tidak ilmiah. Sekaligus membuktikan keilmiahan dari konsep ilmiah yang ia rumuskan sendiri,” ujarnya.
“Ingat bahwa metode ilmiah harus disesuaikan dengan objek yang dibahasnya. Kalau objek itu bersifat inderawi, maka dia harus dibahas dari sudut empirik. Tapi kalau tidak, maka harus menggunakan metode lain. Dan metode ini juga harus terbukti sahih secara ilmiah.”
Menurutnya, salah kekeliruan YouTuber Guru Gembul adalah dalam merumuskan makna “ilmiah”. Apalagi GG, yang belakangan ikut-ikutan membahas kedudukan nasab ini berpandangan, makna “ilmiah” selalu identik dengan inderawi.
“Karena itu dia sampai berani menyampaikan tantangan terbuka untuk siapa saja yang bisa “mengilmiahkan” keberadaan Allah. Ya kalau ilmiah itu hanya diartikan bersifat inderawi, sementara semua manusia tahu bahwa Tuhan itu tidak bersifat inderawi, maka tantangan kaya begitu sebetulnya nggak punya makna. Karena anak SMA juga tahu bahwa Tuhan itu nggak bisa dilihat,” ujar penulis buku “Membuktikan Al-Qur’an Sebagai Kalam Ilahi” ini.*