Otoritas Palestina (PA) yang didukung Barat dan ‘Israel’, bukanlah perwakilan pemerinyah sebuah negara resmi, ia kepanjangan tangan Amerika Serikat dan penjajah
Hidayatullah.com | MUNGKIN di antarakita tidak asing dengan istilah Otoritas Palestina (Palestine Autority atau disingkat PA). Tapi tahukah Anda, Otoritas Palestina bukanlah sebuah negara yangberdaulat, yangmenjalankan pemerintahannya,secara bebas mengelola negara, memiliki menteri, layaknya negara-negara lain di dunia.
Lalu, bagaimana posisi Otoritas Palestina (PA), di mana dunia? Dan dimata rakyatnya sendiri, bangsa Palestina?
Perlu diketahui, penjajah ‘Israel’ telah lama mencari mitra untuk membangun wacana “solusi dua negara”, resolusi yang diusulkan untuk mengokohkan penjajahan ‘Israel’ terhadap bangsa Palestina.
Otoritas Palestina awalnya dibentuk dari Perjanjian Oslo tahun 1993, adalah “pemerintahan transisi”. Namun, setelah lebih dari tiga dekade dan dua “presiden”, Palestina gagal mengubah PA menjadi pemerintahan yang layak.
Jajak pendapat demi jajak pendapat menunjukkan bahwa korupsi dan disfungsi PA membuatnya sangat tidak populer di kalangan warga Palestina sendiri, baik di Tepi Barat atau Jalur Gaza. Ini 10 hal yang perlu Anda tahu;
1. Ototas Palestina (PA) dibentuk 30 tahun lalu oleh Perjanjian Oslo
Didirikan pada tahun 1964 sebagai organisasi payung bagi kelompok pembebasan Palestina, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) saat ini diakui oleh badan-badan internasional sebagai perwakilan resmi rakyat Palestina.
Pada tahun 1993 dan kemudian 1995, penjajah ‘Israel’ dan PLO menandatangani sepasang perjanjian yang dikenal sebagai Kesepakatan Oslo. Dalam kesepakatan itu tertulis harus diakuinya sebuah negara bernama ‘Israel’.
PLO muncul sebagai perwakilan rakyat Palestina yang diakui secara internasional dalam negosiasi dengan penjajah ‘Israel’. Kesepakatan Oslo juga mengarah pada pembentukan PA untuk bertindak sebagai badan pemerintahan sementara di Gaza dan sebagian wilayah Tepi Barat.
Meskipun secara teknis berbeda, PLO dan PA memiliki kepemimpinan yang sama (saat ini Mahmoud Abbas, menggantikan Yasser Arafat).
2. Otoritas Palestina adalah ‘entitas non-negara’
Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), yang diklaim sebagai perwakilan sah rakyat Palestina, memperoleh status pengamat di Sidang Umum PBB pada tahun 1974, tahun yang sama saat organisasi tersebut dibentuk.
Namun PLO hanya mewakili Palestina dalam kapasitas diplomatik, tidak memiliki kewenangan atas pemerintahan lokal. Intinya, PLO tidak memiliki kewenangan hukum domestik.
Otoritas Palestina (PA) didirikan sebagai badan pemerintahan sementara pada tahun 1993. Di sisi lain, Otoritas Palestina (PA) adalah badan yang memiliki “otoritas kota” atas wilayah Palestina.
PLO telah melakukan beberapa upaya untuk mendapatkan pengakuan kenegaraan baik di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) maupun internasional, dan akhirnya memperoleh pengakuan formal dari Sidang Umum PBB pada tahun 2012 ketika menerima status ‘negara nonanggota’.
3. Otoritas Palestina tidak dianggap negara
Dalam hukum internasional, tidak ada definisi khusus tentang apa yang dimaksud dengan ‘negara.’ Namun pPara sarjana dan ahli teori mengembangkan beberapa definisi.
Menurut Pasal 1 Konvensi Montevideo, misalnya, “negara sebagai badan hukum internasional harus memiliki kualifikasi berikut: a) penduduk tetap; b) wilayah yang ditentukan; c) pemerintahan; dan d) kapasitas untuk menjalin hubungan dengan negara lain.
Sementara Otoritas Palestina (PA) tidak memiliki kewenangan eksklusif atas wilayah-wilayah ini; beberapa bagian wilayahnya dikelola bersama dengan penjajah ‘Israel’ (misalnya, sebagian Tepi Barat) dan beberapa dikelola oleh Hamas (misalnya, Jalur Gaza), yang berarti bahwa Otoritas Palestina tidak dapat menunjuk satu entitas-pun yang memiliki kendali efektif atas wilayah tersebut.
Selain itu, ketidakmampuan PA untuk mempertahankan kewenangan eksklusif atas keputusan kebijakan luar negeri tertentu tanpa kerja sama dengan pihak penjajah ‘Israel’ tidak akan terjadi.
Oleh karena itu, berdasarkan teori deklaratif, yang hanya mengandalkan Kriteria Montevideo formal, saat ini Palestina gagal memenuhi banyak kualifikasi yang diperlukan untuk dianggap sebagai sebuah negara. Apalagi hanya diwakili Otoritas Palestina, yang lebih menjadi kaki tangan penjajah.
4. Otoritas Paletina bukan perwakilan demokratis Bangsa Palestina
Pemilihan presiden terakhir di Tepi Barat diadakan pada tahun 2005, ketika perwakilan PLO dan faksi Fatah Mahmoud Abbas meraih kekuasaan. Abbas sekarang berusia 88 tahun, menjalani tahun ke-20 dari masa jabatan presiden awalnya yang berdurasi empat tahun.
Dalam pemilihan parlemen tahun 2006, Hamas muncul sebagai pemenang Pemilu, namun Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, termasuk penjajah ‘Israel’, tidak mengakui, dan mendesak Mahmoud Abbas tetap mempertahankan kekuasaannya.
Tidak ada pemilihan presiden atau legislatif sejak saat itu. Washington dengan optimis menggambarkan Mahmud Abbas adalah pihak yang berkomitmen untuk berdamai dengan penjajah ‘Israel’.
Namun, Abbas sejak saat itu memerintah dengan dekrit, membubarkan parlemen Palestina dan menjalankan kekuasaan otokratis di Tepi Barat. Sementara Hamas, yang lebih dipercaya rakyat Palestina, menjalankan pemerintahannya sendiri di wilayah Jalur Gaza.
Jadi meskipun AS, ‘Israel’ dan Barat memberi tempat semacam kantor perwakilan PA di setiap negara, mereka sendiri tidak diakui keberadaannya sebagai wakil bangsa Palestina oleh rakyatnya sendiri.
5. Otoritas Palestina tidak populer di mata rakyat Palestina
Jika diberi kesempatan untuk menjalankan penentuan nasib sendiri dan memberikan suara, mayoritas warga Palestina tidak akan memilih Fatah — partai politik sekuler, yang mendominasi Otoritas Palestina (PA) dan PLO — baik di Gaza maupun di Tepi Barat.
Setelah kemenangan legislatif Hamas tahun 2006, yang secara efektif dibatalkan oleh Mahmoud Abbas dengan dukungan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, Hamas menguasai Jalur Gaza dalam perang saudara melawan Otoritas Palestina, yang menjadi kaki-tangan ‘Israel’.
Terlepas dari kenyataan bahwa Hamas telah membawa banyak perang terhadap rakyat Gaza dan bahwa daerah pantai tersebut telah menderita sanksi ekonomi sebagai akibat kepercayaan rakyat, Hamas tetaplah populer.
Sebuah jajak pendapat pada bulan Desember 2023 oleh Pusat Penelitian Kebijakan dan Survei Palestina yang berbasis di Ramallah menemukan bahwa jika pemilihan parlemen serupa diadakan hari ini, 52 persen warga Palestina di Gaza akan memilih Hamas, dan hanya 21 persen saja memilih Fatah.
Jika dilakukan pemilihan presiden, 71 persen warga Palestina di Gaza akan memilih pemimpin Hamas Ismail Haniyah daripada pemimpin Otoritas Palestina (PA), Mahmoud Abbas.
Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Dunia Arab untuk Penelitian dan Pengembangan yang berbasis di Ramallah pada bulan November 2023 menemukan bahwa 85 persen warga Palestina di Tepi Barat memiliki pandangan ” negatif” atau “sangat negatif” terhadap Otoritas Palestina (PA).
Jajak pendapat Pusat Penelitian Kebijakan dan Survei Palestina Desember 2023 menemukan bahwa 92 persen warga Palestina di Tepi Barat ingin Mahmoud Abbas mengundurkan diri.
Jika pemilihan presiden diadakan hari ini, 82 persen warga Palestina di Tepi Barat akan memilih Ismail Haniyah dari Hamas daripada memilih Mahmoud Abbas dari PLO.
Dalam pemilihan parlemen, 50 persen warga Palestina di Tepi Barat akan memilih Hamas, dan hanya 18 persen yang memilih Fatah.
6. Pasukan keamanan Otoritas Palestina bantu ‘Israel’ menangkapi pejuang
Setelah penandatanganan Perjanjian Oslo pada bulan September 1993, menyusul berakhirnya Intifada Pertama, Amerika Serikat (AS) mengembangkan Pasukan Keamanan Otoritas Palestina (PASF). Pertama, dimulainya dukungan donor untuk mengubah pengawal dan personel keamanan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan pemimpinnya, Yasser Arafat.
Setelah Arafat meninggal digantikan Mahmoud Abbas, PA membangun kembali organisasi keamanan Palestina yang lebih tahan lama. Didukung “Kuartet” (Amerika Serikat, Uni Eropa [UE], Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan Rusia), Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice tahun 2005 mengumumkan pembentukan kantor Koordinator Keamanan Amerika Serikat (USSC) untuk ‘Israel’ dan Otoritas Palestina, yang akan mengawasi pembangunan kembali PASF menjadi pasukan keamanan multi-cabang.
Organisasi PASF dibagi empat layanan utama dengan misi berbeda,dengan prinsip dasar mereka berkoordinasi dengan penjajah ‘Israel’ dan USSC. Empat layanan itu adalah Pengawal Presiden (PG), yang bertanggung jawab atas keamanan presiden Otoritas Palestina (PA); Pasukan Keamanan Nasional (NSF), menyediakan keamanan area dan dukungan kepada Polisi Sipil Palestina; Polisi Sipil Palestina (PCP); dan direktorat Pertahanan Sipil (CD), sebagai pemadaman kebakaran dan tanggap darurat di seluruh Tepi Barat.
Pasukan Keamanan Nasional Palestina (NSF) atau Quwwat al-Amn al-Watani al-Filastini, adalah pasukan keamanan paramiliter, merujuk seluruh Pasukan Keamanan Nasional, termasuk beberapa layanan khusus, tidak termasuk Pasukan Keamanan Dalam Negeri, Garda Presiden, dan Intelijen Umum.
Jumlah Pasukan Keamanan Nasional Palestina (NSF) pada tahun 2007 sebanyak 42.000 tentara. Mereka terlibat berbagai kegiatan, termasuk penegakan hukum umum, seperti menangkap kelompok pejuang pembebasan Palestina dan membantu penjajah ‘Israel’ mengadili mereka yang ditangkap.
“Di masa lalu, Pasukan Keamanan Palestina (NSF) telah membebaskan teroris yang ditangkap dan kemudian diam-diam memberi tahu ‘Israel’ untuk meredakan kritik publik internal terhadap penyerahan warga Palestina ke ‘Israel’,” kutip The Jerusalem Post, 7 Mei 2014.
Sebagai bagian dari Perjanjian Oslo, yang dibuat AS dan penjajah ‘Israel’, Otoritas Palestina (PA) diberi wewenang merekrut dan melatih pasukan polisi dengan kemampuan paramiliter, tetapi tidak diizinkan memiliki pasukan militer. Apalagi sampai melawan penjajah ‘Israel’.
Perlu diketahui, uang gaji yang diterima petugas Pasukan Keamanan Nasional Palestina (NSF) diberikan oleh pihak penjajah ‘Israel’, yang diambilkan dari pajak rakyat Palestina yang terjajah.
Menurut media Yahudi, Ynet.com, ‘Israel’ membayarkan gaji dari pajak pekerja Palestina, merupakan 65% dari anggaran tahunannya, yang berjumlah $218 juta. Sebagian besar dana ini digunakan Presiden Mahmoud Abbas untuk membayar gaji bagi 32.000 personel keamanannya.
Dalam pernyataan eksklusifnya kepada Al-Khaleej Online, pemimpin Hamas pernah mengatakan, “peran badan keamanan Otoritas tidak berhenti hanya memberikan lampu hijau kepada tentara penjajah menyerang kota-kota Palestina, menangkap warga, melakukan sabotase, penyerangan, termasuk menjadi alat menyerang warga, menangkap dan mengadili mereka, demi kepentingan rencana penjajah untuk membatasi jumlah penduduk.”
7. Hamas dan faksi Fatah berulang kali gagal Islah sejak Perang tahun 2007
Upaya untuk mengislahkan faksi-faksi perjuangan pembebasan Palestina selama bertahun-tahun masih gagal. Saudi, Turki, Mesir, Qatar, dan lainnya telah gagal mengakhiri mempertemukan mereka.
Pada April 2014, PA mengabaikan perundingan damai dengan ‘Israel’ dan menandatangani pakta persatuan dengan Hamas. Pemerintah persatuan bubar pada Juni 2015 karena Hamas tidak mengizinkan PA beroperasi di Gaza.
Upaya selanjutnya untuk berdamai pada 2017 dan 2023 juga gagal. Pemerintah Rusia meluncurkan putaran baru perundingan persatuan Palestina pada Februari 2024.
8. Otoritas Palestina menolak berbagai tawaran perdamaian
Otoritas Palestina atau PA telah menolak atau gagal menanggapi berbagai tawaran perdamaian dari ‘Israel’ dan Amerika Serikat selama 25 tahun terakhir. Pada tahun 2000, Perdana Menteri ‘Israel’ Ehud Barak menawarkan kepada ketua PLO Yasser Arafat sebuah negara Palestina yang meliputi seluruh wilayah Gaza dan setidaknya 94 persen wilayah Palestina Barat.
Palestina menolak tawaran tersebut dengan Yerusalem (Baitul Maqdis) Timur sebagai ibu kotanya. Arafat menolak tawaran tersebut.
Perdana Menteri Ehud Olmert menawarkan lebih banyak tanah pada tahun 2008 dan “menerima secara prinsip” untuk mengizinkan beberapa warga Palestina tinggal di tanah mereka sendiri, yang dirampok ‘Israel’ — sebagai bagian dari kesepakatan — sebuah konsesi yang tidak bersedia diberikan oleh perdana menteri ‘Israel’ sebelumnya.
Sekali lagi, PA menolak tawaran penjajah ‘Israel’. Ketika Perdana Menteri Netanyahu mengatakan pada tahun 2015 bahwa ia “siap untuk pergi ke Ramallah atau tempat lain saat ini” untuk melanjutkan pembicaraan damai, PA juga menolaknya.
Pada tahun 2016, Wakil Presiden Joe Biden saat itu dilaporkan menyampaikan rencana perdamaian kepada Abbas saat mengunjungi Ramallah. Namun Mahmoud Abbas menolak usulan tersebut.
PA juga menolak rencana perdamaian pemerintahan Donald Trump pada tahun 2020.
9. Otoritas Palestina dipenuh dengan korupsi
Korupsi di dalam PA tersebar luas, termasuk penggelapan, nepotisme, dan pemerasan. Awalnya disebut-sebut sebagai seorang reformis dibandingkan dengan pendahulunya, Yasser Arafat.
Presiden PA Mahmoud Abbas dianggap telah mengalihkan dana publik dan bantuan internasional untuk memperkaya dirinya dan keluarganya.
Pada tahun 2020, seorang whistleblower Palestina mengungkapkan bahwa kantor Mahmoud Abbas secara teratur mentransfer uang bantuan Eropa ke rekening pribadinya.
Aktivis politik Palestina Nizar Banat berulang kali ditangkap karena mengkritik korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia di tubuh Otoritas Palestina (PA), termasuk penangkapan terakhir tahun 2021 di mana ia dipukuli hingga tewas oleh pasukan keamanan PA.
10. Amerika mendorong Otoritas Palestina menggusur Hamas yang dipercaya rakyat
Pada tanggal 18 November 2023, Presiden Biden menulis di The Washington Post bahwa Pemerintahan Biden menyarankan PA yang direformasi dan harus memimpin Gaza pascaperang, sebuah langkah yang ditolah rakyat Palestina.
Namun penjajah ‘Israel’ berulang kali mengatakan bahwa PA tidak dapat diizinkan untuk memerintah Gaza setelah perang.
Perlu diketahui, dalam setiap perang, Otoritas Palestina tidak pernah berdiri bersama pejuang pemebasan Palestina membela rakyatnya yang dibantai, termasuk genosida ‘Israel’ pasca 7 Oktober 2023 lalu.*
C