Hidayatullah.com— Miftah Maulana Habiburrahman atau akrab dipanggil jamaahnya Gus Miftah, menjadi perbincangan masyarakat setelah dirinya keseleo lidah karena dianggap mengolok-olok penjual es teh Sunhaji (38).
Budayawan asli Jombang Jawa Timur Emha Ainun Nadjib, sejak tahun 1987, pernah mengulas hal serupa dalam sebuah puisi berjudul “Syair Penjual Kacang” dan “Syair Tukang Bakso”.
Dalam puisinya “Syair Penjual Kacang” ini, pria yang pernah nyantri di PP Darussalam Gontor Ponorogo ini mengulas tentang seorang penjual kacang yang bekerja sampai larut malam, menyusuri jalanan, menembus gang-gang, lebih mulia di hadapan Allah dibanding orang yang korupsi dan menjilat atasan.
Sementar adalam “Syair Penjual Bakso” ia menjelaskan tukang bakso yang memiliki tauhid tinggi, lebih mulia di mata Allah dibanding, orang-orang yang masih takut pada dunia.
“Karena kita masih tergolong orang-orang yang ditawan oleh rasa takut terhadap apa yang kita anggap derajat rendah, takut tak memperoleh pekerjaan di sebuah kantor, takut miskin, takut tak punya jabatan, takut tak bisa menghibur istri dan mertua, dan kelak takut dipecat, takut tak naik pangkat…,” demikian tulis Cak Nun, dalam puisi yang dibukukan berjudul “Seribu Masjid Satu Jumlahnya (Tahajjud cinta seorang hamba), Penerbit Mizan.
Di bawah ini teks lengkap puisinya yang masih relevan;
Syair Penjual Kacang
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Al-Habib, seorang yang dikasihi oleh banyak orang dan senantiasa didambakan kemuliaan hatinya, malam itu mengimami sholat isya suatu jamaah yang terdiri dari para pejabat negara dan pemuka masyarakat.
Berbeda dengan adatnya, sesudah tahiyyat akhir diakhiri dengan salam, Al-Habib langsung membalikan tubuhnya, menghadapkan wajahnya kepada para jamaah dan menyorotkan matanya tajam-tajam.
“Salah seorang dari kalian keluarlah sejenak dari ruang ini, ” katanya, “Di halaman depan sedang berdiri seorang penjual kacang godok. Keluarkan sebagian dari uang kalian, belilah barang beberapa bungkus.”
Beberapa orang langsung berdiri dan berlari keluar, dan kembali ke ruangan beberapa saat kemudian.
“Makanlah kalian semua,” lanjut Al-Habib, “Makanlah biji-biji kacang itu, yang diciptakan oleh Alloh dengan kemuliaan, yang dijual oleh kemuliaan dan dibeli oleh kemuliaan.”
Para jamaah tak begitu memahami kata-kata Al-habib, sehingga sambil menguliti dan memakan kacang, wajah mereka tampak kosong.
“Setiap penerimaan dan pengeluaran uang,” kata Al-Habib, “hendaklah dipertimbangkan berdasarkan nilai kemuliaan. Bagaimana mencari uang, bagaimana sifat proses datangnya uang ke saku kalian, untuk apa dan kepada siapa uang itu dibelanjakan atau diberikan, akan menjadi ibadah yang tinggi derajatnya apabila diberangkatkan dari perhitungan untuk memperoleh kemuliaan.”
“Tetapi ya Habib,” seorang bertanya, “apa hubungan antara kita beli kacang malam ini dengan kemuliaan?” Al-habib menjawab, “Penjual kacang itu bekerja sampai larut malam atau bahkan sampai menjelang pagi. Ia menyusuri jalanan, menembus gang-gang kota dan kampung-kampung. Di malam hari pada umumnya orang tidur, tetapi penjual kacang itu amat yakin bahwa Alloh membagi rejeki bahkan kepada seekor nyamuk pun. Itu taqwa namanya. Berbeda dari sebagian kalian yang sering tak yakin akan kemurahan Alloh, sehingga cemas dan untuk menghilangkan kecemasan hidupnya ia lantas melakukan korupsi, menjilat atasan serta bersedia melakukan dosa apa pun saja asal mendatangkan uang.”
Suasana menjadi hening.Para jamaah menundukkan kepala dalam-dalam.
Dan Al-Habib meneruskan, “Istri dan anak penjual kacang itu menunggu di rumah, menunggu dua atau tiga ribu rupiah hasil kerja semalaman. Mereka ikhlas dalam keadaan itu. Penjual kacang itu tidak mencuri atau memperoleh uang secara jalan pintas lainnya. Kalau ia punya situasi mental mencuri, tidaklah ia akan tahan berjam-jam berjualan.”
“Punyakah kalian ketahanan mental setinggi itu? “Al-Habib bertanya, “Lebih muliakah kalian dibanding penjual kacang itu, atau ia lebih mulia dari kalian? Lebih rendahkah derajat penjual kacang itu dibanding kalian, atau di mata Alloh ia lebih tinggi maqom-nya dari kalian? Kalau demikian, kenapa di hati kalian selalu ada perasaan dan anggapan bahwa seorang penjual kacang adalah orang rendah dan orang kecil?”
Dan ketika akhirnya Al-Habib mengatakan, “Mahamulia Alloh yang menciptakan kacang, sangat mulia si penjual kacang itu dalam pekerjaannya, serta mulia pulalah kalian yang membeli kacang berdasar makrifat terhadap kemuliaan….”.
Salah seorang berteriak, melompat dan memeluk tubuh Al -Habib erat-erat.*
(1987)
***
Syair Tukang Bakso
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Sebuah pengajian yang amat khusyuk di sebuah masjid kaum terpelajar, malam itu, mendadak terganggu oleh suara dari seorang tukang bakso yang membunyikan piring dengan sendoknya.
Pak Ustad sedang menerangkan makna khauf, tapi bunyi ting-ting-ting-ting yang berulang-ulang itu sungguh mengganggu konsentrasi anak-anak muda calon ulil albab yang pikirannya sedang bekerja keras.
“Apakah ia berpikir bahwa kita berkumpul di masjid ini untuk berpesta bakso!” gerutu seseorang.
“Bukan sekali dua kali ini dia mengacau!” tambah lainnya, dan disambung — “Ya, ya, betul!”
“Jangan marah, ikhwan,” seseorang berusaha meredakan kegelisahan, “ia sekedar mencari makan….”
“Ia tak punya imajinasi terhadap apa yang kita lakukan!” potong seseorang yang lain lagi.
“Jangan-jangan sengaja ia berbuat begitu! Jangan-jangan ia minan-nashara!” sebuah suara keras.
Tapi sebelum takmir masjid bertindak sesuatu, terdengar suara Pak Ustadz juga mengeras: “Khauf, rasa takut, ada beribu-ribu maknanya. Manusia belum akan mencapai khauf ilallah selama ia masih takut kepada hal-hal kecil dalam hidupnya. Allah itu Mahabesar, maka barangsiapa takut hanya kepadaNya, yang lain-lain menjadi kecil adanya.”
“Tak usah menghitung dulu ketakutan terhadap kekuasaan sebuah rezim atau peluru militerisme politik. Cobalah berhitung dulu dengan tukang bakso. Beranikah Anda semua, kaum terpelajar yang tinggi derajatnya di mata masyarakat, beranikah Anda menjadi tukang bakso? Anda tidak takut menjadi sarjana, memperoleh pekerjaan dengan gaji besar, memasuki rumah tangga dengan rumah dan mobil yang bergengsi: tapi tidak takutkah Anda untuk menjadi tukang bakso? Yakni kalau pada suatu saat kelak pada Anda tak ada jalan lain dalam hidup ini kecuali menjadi tukang bakso? Cobalah wawancarai hati Anda sekarang ini, takutkah atau tidak?”
“Ingatlah bahwa tak seorang tukang bakso pun pernah takut menjadi tukang bakso. Apakah Anda merasa lebih pemberani dibanding tukang bakso? Karena pasti para tukang bakso memiliki keberanian juga untuk menjadi sarjana dan orang besar seperti Anda semua.”
Suasana menjadi senyap. Suara ting-ting-ting-ting dari jalan di sisi halaman masjid menusuk-nusuk hati para peserta pengajian.
“Kita memerlukan baca istighfar lebih dari seribu kali dalam sehari,” Pak Ustadz melanjutkan, “karena kita masih tergolong orang-orang yang ditawan oleh rasa takut terhadap apa yang kita anggap derajat rendah, takut tak memperoleh pekerjaan di sebuah kantor, takut miskin, takut tak punya jabatan, takut tak bisa menghibur istri dan mertua, dan kelak takut dipecat, takut tak naik pangkat… Masya Allah, sungguh kita masih termasuk golongan orang-orang yang belum sanggup menomorsatukan Allah!”
(1987)