Hidayatullah.com– Penggeledahan tas, pemasangan kamera pengawas (CCTV) dan gerbang tidak akan menyelesaikan masalah tindak kekerasan yang terjadi di sekolah-sekolah di Prancis. Demikian dikatakan seorang perwakilan serikat guru kepada Euronews, menyusul insiden penikaman maut atas seorang asisten pengajar oleh seorang siswa berusia 14 tahun di kota kecil Nogent di bagian timur laut Prancis.
Pelajar laki-laki itu menikam berkali-kali asisten pengajar yang berusia 31 tahun ketika dilakukan pemeriksaan tas di Sekolah Françoise Dolto di Nogent, dekat Dijon, pada hari Selasa (10/6/2025), kata pihak berwenang setempat.
Seorang petugas kepolisian yang ikut melakukan penggeledahan tas mengalami luka ringan saat meringkus pelaku. Pelajar itu sekarang sedang diperiksa polisi, menurut Prefektur Haute-Marne. Belum diketahui apa motif pelaku.
“Kami sangat berduka. Seluruh masyarakat berduka, seluruh negara berduka,” kata Maxime Reppert, wakil presiden Persatuan Nasional Sekolah Menengah dan Pendidikan Tinggi (SNLAC).
“Di balik kesedihan, ada kemarahan dan kekesalan, karena sayangnya ini bukan pertama kalinya darah tertumpah di sekolah,” kata Reppert kepada Euronews.
Meskipun insiden maut di sekolah-sekolah Prancis masih jarang terjadi, ada kekhawatiran yang berkembang tentang kekerasan di lingkungan sekolah. Pemerintah memberlakukan pemeriksaan tas dan berjanji untuk memberikan “efek jera yang lebih kuat dan hukuman yang lebih berat” setelah seorang remaja berusia 17 tahun ditikam hingga tewas di luar sebuah kampus saat terjadi konfrontasi antara geng-geng yang bermusuhan di daerah Essonne pada bulan Maret.
Antara akhir Maret dan akhir Mei, sebanyak 6.000 pemeriksaan tas yang dilakukan menghasilkan penyitaan 186 pisau dan penangkapan 32 orang, menurut Kementerian Pendidikan Prancis.
Perdana Menteri Francois Bayrou mengatakan kepada anggota parlemen pada hari Selasa bahwa pemerintah “bermaksud untuk melakukan eksperimen dengan pengadaan gerbang keamanan di pintu masuk sekolah”.
Namun, menurut Reppert masalah tindak kekerasan yang dilakukan pemuda tidak akan dapat diselesaikan dengan cara penggeledahan tas, pemasangan kamera oengawas dan pintu gerbang saja. Dia menekankan perlunya perhatian lebih terhadap masalah kesehatan mental para pemuda, serta pendidikan bagi keluarga pelajar.
“Kami yakin bahwa sekolah tidak dapat melakukan semuanya. Kita perlu membuat keluarga siswa untuk lebih bertanggung jawab dan membantu para orangtua yang memerlukannya,” imbuhnya.
Reppert juga mengatakan pihak berwenang di Prancis seharusnya tidak menjadikan usia tersangka pelaku sebagai alasan untuk “memaklumi” kasus tindak kekerasan oleh remaja.
“Kami menyakini bahwa seorang anak berusia 15 tahun yang memiliki senjata dan melakukan tindak kejahatan harus dihukum. Dia tahu apa yang dia lakukan pada usia tersebut,” kata Reppert.
“Kita perlu membuat para pemudik lebih bertanggung jawab dan kita perlu memulihkan otoritas, otoritas orang dewasa, otoritas para guru”, imbuhnya.
Jaksa wilayah Denis Devallois mengatakan tersangka tidak memiliki catatan kepolisian.
Menteri Pendidikan Prancis Elisabeth Borne mengatakan bahwa anak lelaki tersebut pernah menjadi perwakilan siswa dalam program anti perundungan di sekolahnya, dan sempat diskors beberapa waktu lalu karena mengganggu kelas.*