Hidayatullah.com–Soal Pelarangan Jilbab, Kewenangan Otda Dinilai Salah Satu PemicuTemuan tim advokasi Pelajar Islam Indonesia (PII) soal masih banyaknya jilbab untuk siswi Muslimah oleh institusi sekolah tingkat SMP dan SMA/SMKN di Bali mengejutkan banyak pihak.
Menurut Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Atas (SMA) Kemendikbud Harris Iskandar mengatakan situasi tersebut bisa diakibatkan dampak dari Aturan Otonomi Daerah (Otda) di mana regulasi terlampau menjadi wewenang daerah terkait.
“Pemerintah juga merasakan melemahnya daya tekan kepada instansi di bawahnya. Sekarang Kemendikbud sulit melakukan koordinasi langsung dengan kepala sekolah dan dinas pendidikan,” kata Harris saat berdialog dengan Tim Advokasi Pembelaan Hak Pelajar Muslim PB PII di Jakarta, Rabu (05/02/2014).
Peraturan daerah, kata Harris, sepertinya harus dievaluasi agar kewenangan Kemendikbud dapat lebih kuat. Sekarang, menurutnya, akibat Otda segala wewenang penyelenggaraan pendidikan diatur oleh daerahnya.
“Harapan saya agar secepatnya untuk urusan pendidikan menjadi kewenangan bersama, bukan lagi kewenang penuh daerah. Ini semata-mata untuk menjaga dan menjalankan agar amanah UUD 1945 mengenai hak seseorang dalam pendidikan dapat terkontrol, serta UU SISDIKNAS serta UU lainnya dapat diimplementasikan secara sempurna,” ujarnya.
Harris mengaku terbantu dengan adanya laporan PII beserta data-data pelengkapnya. Jika PII tidak melaporkan kasus ini, terang dia, mungkin saja pemerintah tidak mendapatkan bahan dan data untuk melakukan evaluasi.
“Ini merupakan kebahagiaan tersendiri karena PII masih ada di tengah masyarakat untuk berjuang di ranah pendidikan. Mungkin ini satu-satunya data yang bisa dijadikan referensi penting dalam merumuskan kebijakan dan evaluasi bagi Kemendikbud,” kata Harris.
Dijelaskan Harris, Kemendikbud akan melakukan penyegaran terhadap Keputusan Dirjen Dikdasmen Tahun 1991, agar isi kandungan peraturan tersebut dapat diimplementasikan secara baik dan merata. Jika diperlukan akan ditambahkan pula pasal-pasal lainnya agar pelajar dapat mendapatkan pendidikan dengan layak dan dapat menjalankan kewajiban agamanya di lembaga pendidikan.
Terkait kasus pelarangan jilbab yang telah mencuat di Bali, pemerintah melalui Kemendikbud akan melakukan pendekatan persuasif terlebih dahulu dalam menyelesaikan masalah tersebut karena ini berkaitan dengan budaya setempat.
“Maka untuk menjaga hubungan baik secara emosional dan struktural harus menghargai nilai-nilai budaya lokal,” imbuhnya.
Dalam kesempatan itu Ketua Tim Advokasi Helmi Al Djufri didampingi Ketua I PB PII Afif Muchrom, memberikan masukan kepada Kemendikbud jika ingin melakukan perubahan keputusan Dirjen Dikdasmen tahun 1991 agar pasal 10 ayat (3) yang berbunyi “Bagi siswa putri yang menggunakan pakaian seragam sekolah yang khas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapat persetujuan orangtua atau wali siswa” agar dihapuskan.
Sebab menurut Helmi, fenomena yang terjadi di lapangan, Kepala Sekolah selalu mengkonfrontasi antara murid dengan orangtuanya jika sang murid ingin berjilbab. Kerap juga Kepala Sekolah selalu memanggil orangtua murid untuk dinasehati agar anaknya yang ingin berjilbab agar memikirkan ulang pilihan untuk pindah sekolah.
Menurut Tim Advokasi jika seorang murid ingin berjilbab ia tidak perlu meminta ijin kepada siapapun termasuk orangtua.
“Kedudukan hukum memakai jilbab kan sama seperti halnya kewajiban sholat, puasa, haji, zakat, apakah kita harus meminta ijin dahulu jika ingin sholat atau puasa atau haji. Tentu tidak,” tandasnya.*