Hidayatullah.com–Bernegara itu harus pakai worldview of Islam, demikian ditegaskan oleh Ahmad Rafii Dimyati, MA, dalam kajian bertema “Islam dan Bela Negara” yang digelar Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan (PIMPIN), Bandung pada hari Sabtu, 13 Agustus 2016.
Acara yang digelar di Rabbani Hypnofashion Hall lantai 4, Jalan Dipatiukur No. 44, Bandung merupakan kegiatan rutin sebulan sekali. Tema pertama ini dipilih dalam rangka menyambut hari peringatan kemerdekaan RI ke-71 yang jatuh pada tanggal 17 Agustus 2016.
Di samping itu hal ini berkaitan juga dengan wacana bela negara yang banyak didiskusikan di masyarakat.
Dalam sambutannya, Dr. Wendi Zarman, Direktur PIMPIN Bandung, mengatakan ada anggapan mendikotomikan Islam dengan nasionalisme dan patriotisme tidak bisa sejalan.
“Seolah-olah kalau berpegang kepada Islam berarti tidak nasionalis, atau sebaliknya kalau pro-nasionalis berarti anti-Islam,” ujarnya.
Mengawali paparannya, Ahmad Dimyati menjelaskan mengenai hubungan antara Islam dan negara. Menurut kandidat doktor bidang filsafat Islam dari Suleyman Demirel Universitesi Turki ini, negara adalah perpanjangan dari misi kenabian.
Sebagai Muslim, membahas negara tidak boleh lepas dari worldview Islam. Konsekuensinya, bela negara juga termasuk turunan daripada konsep Islam. Karena itu, nasionalisme dan patriotisme tidaklah bertentangan dengan Islam.
Alumni Universiti Malaya bidang pemikiran Islam yang kini menjabat Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin (STIU) Al-Mujtama’ Pamekasan ini menyampaikan bahwa membela negara bisa dalam pengertian ofensif maupun defensif. Dalam pengertian ofensif bermakna membuka peradaban baru (futuhat al-buldan). Berbeda dengan Barat yang menaklukkan bangsa lain untuk menjajahnya (kolonialisasi), penaklukkan dalam Islam bertujuan membangun peradaban (Islamisasi).
Dalam pengertian defensif, bela negara berarti adalah membangun imunitas internal dan eksternal (difa’ al-khariji wa ad-dakhili). Bentuknya bisa berupa imunitas terhadap hal-hal fisik, seperti harta, benda, kekayaan alam, atau manusia. Selain itu juga imunitas terhadap hal-hal non-fisik, seperti agama, ideologi, dan pemikiran.
“Para pejuang kita mulai dari Jenderal Soedirman, Pangeran Diponegoro, dan K.H. Hasyim Asy’ari bukan cuma membela negara dalam bentuk fisik saja tetapi non-fisik juga,” terangnya.
Perihal dikotomi Islam dan nasionalisme, menurut Ahmad cara berpikir semacam ini harus diluruskan. Islam itu universal, mencakup seluruh hal, termasuk persoalan kebangsaan. Oleh karena itu Seorang Muslim seharusnya nasionalis juga. Namun, nasionalismenya tidak sempit, hanya terbatas pada tanah air dan bangsanya saja, tapi juga terhadap umat Islam di luar negaranya.
“Pembelaan kita terhadap tanah air sendiri jangan sampai membuat lupa untuk membela saudara-saudara Muslim yang tinggal di negara lain,” ujarnya.*/kiriman Muhammad Ridwan dan Wendi Zarman (Bandung)