Hidayatullah.com– Ahad pagi, 21 Agustus 2016. Pegiat media sosial Jonru Ginting memberikan tausyiah di hadapan jamaah Masjid Aqshol Madinah, sebuah pesantren di Batakte, Kupang, NTT.
“Saya bahagia bisa berkunjung ke pesantren ini. Bisa berada di tengah-tengah santri dan ustadz, sampai-sampai diri saya pun dipanggil ‘ustadz’ oleh santri dan pengurus,” ujarnya seraya berguyon.
Kedatangan Jonru, di samping silaturahmi, juga melihat langsung kondisi sumur bor di pesantren itu, yang oleh Jonru di fans page-nya, @jonru.page disebut “Sumur Bor Ajaib”.
Disebut “ajaib” karena, menurut Jonru, sebelum penggalian sumur dilakukan, para pekerja dan pengurus pesantren sempat pesimis, tak mungkin di lokasi itu ada sumber air. Mereka sudah menggali 11 kali dan semuanya gagal.
Menurut pengalaman, kata Jonru, sumber air biasanya baru tersedia pada jarak minimal 3 km. Namun, tuturnya, pengurus pesantren kemudian berkata, “Ayolah, Bismillah saja. Kita gali saja, siap tahu kita berhasil menemukan air.”
Dan Subhanallah…. Keajaiban itu pun terjadi! Sumber air berhasil ditemukan, bahkan airnya tak pernah habis, terus mengalir hingga hari ini, ungkapnya.
Dalam kunjungannya itu, hadir Usman Mamang, Ketua Pengurus Wilayah Hidayatullah NTT. Mamang pernah menyampaikan, “Kebutuhan air di pondok ini kalau saat kemarau mengalami gersang yang luar biasa. Apalagi pada musim-musim sekarang.
Setiap hari pondok bisa membeli air sebanyak 2 tngki. Setangki air harganya mencapai Rp 100 ribu. Jika diasumsikan dalam sebulan pondok bisa menghabiskan pengeluaran sekitar Rp 6 juta hanya untuk keperluan air saja. Sehingga lewat Jonru Media Center (JMC) dapat membantu meringankan beban santri dan pengurus.”
Sebagaimana diketahui, JMC adalah wadah pengumpulan dana masyarakat untuk kepentingan masyarakat. JMC menggalang dana bantuan penggalian sumur tersebut.
Berbagi Tips Menulis
Ahad itu, Jonru yang mengaku aktif menulis sejak SD memberikan tips dan kiat kepada ratusan santri dan puluhan pengurus.
Dalam penjelasannya, “Di antara kiat menulis adalah hilangkan prasangka buruk saat akan menulis. Salah satunya yakni beban.”
Biasanya, menurutnya, dalam pikiran penulis pasti terbetik; jangan-jangan tulisan ini kurang baik, kurang pas dengan EYD, dan tentu pasti banyak yang memberikan komentar negatif.
Maka dari itu, pesannya, penulis harus hilangkan prasangka buruk dan beban seperti demikian.
“Kalau mau menulis, mulailah dengan tulisan bebas, apa yang dilihat dan dirasakan,” ujarnya.
Ia mencontohkan tentang sebuah pondok pasantren di Jawa Barat. Pondok ini mengajarkan santrinya menulis dan public speaking. Maka jangan heran kalau dari pondok tersebut santri-santrinya handal dalam menulis dan berpidato.
Sebelum mengakhiri tausiyahnya, Jonru berpesan, “Berdakwalah sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah. Dakwah ini penuh dengan cobaan dan godaan. Persiapkanlah mental saat ujian berupa hinaan dan makian dalan berdakwah.”
Ia berkisah, perkenalannya dengan Pesantren Hidayatullah sejak kuliah tahun 1991, yaitu melalui majalah Suara Hidayatullah. Ia pun mengapresiasi kehadiran pesantren tersebut, beserta ormas dan media massa yang dimilikinya.
“Saya dulu sangat tertarik dengan pesantren ini, sejak kuliah, waktu itu sudah banyak membaca majalahnya. Yang saya tahu pesantren ini memiliki dai yang kuat dan tahan banting dalam berdakwah,” ungkap Jonru yang memang rutin berkeliling ke berbagai pesantren.
Rasman Tkela selaku Kepala Perwakilan BMH NTT menyampaikan, semoga silaturahim ini terus terjalin dan sinergi. Dalam hal pembangunan untuk kemajuan masyarakat NTT melalui pendidikan, dakwah, dan sosial.* Kiriman Abu Zain Zaidan, pegiat komunitas menulis PENA NTT