Oleh: Ady C. Effendy
Hidayatullah.com | BELAKANGAN ini warga dunia sedang menghadapi wabah virus mematikan, virus Corona (yang secara resmi dinamakan WHO: corona virus disease 2019 atau COVID-19). Berdasarkan data resmi per hari ini Covid-19 telah menjangkiti lebih dari 145 ribu orang di 121 negara dengan jumlah kematian melebihi 5000 jiwa.
Sejarah abad ke-20 mencatat telah beberapa kali dunia menghadapi virus mematikan, diantaranya yang paling dikenal adalah virus Ebola asal Kongo (tahun 1976) yang mematikan 14.000 jiwa lebih. Virus H1N1 asal Amerika dan Meksiko (tahun 2009) yang mematikan lebih dari 123000 jiwa. Virus MERS asal Saudi Arabia (tahun 2012) yang mematikan kurang dari 900 orang. Namun wabah yang paling mematikan mungkin adalah Spanish flu atau Virus H1N1 tahun 1918 (Jan 1918- Dec 1920) yang diperkirakan menjangkiti 500 juta jiwa (atau 27% dari populasi dunia masa itu yang berjumlah 1.9 milyar jiwa) dan diperkirakan membunuh setidaknya 17 juta hingga 50 juta jiwa, namun ada pula yang memperkirakan hingga 100 juta jiwa.
Nama Spanish sendiri dinisbatkan ke Spanyol bukan karena ia merupakan asal muasal wabah ini melainkan karena Raja Alfonso 13 terjangkit dan sakit keras karena penyakit ini (Wikipedia).
Dampak dari virus Covid-19 ini pun bervariasi diantara orang-orang yang terjangkitinya, dimulai dari gejala flu biasa hingga gejala batuk kering, demam tinggi, dan kesulitan bernafas. Sebagian orang akan mengalami kondisi yang lebih parah dan mengancam jiwa seperti kegagalan ginjal akut, kerusakan liver, dan pneumonia (kegagalan paru-paru) (Sumber: National Geographic).
Menghadapi kasus ini, negara asal munculnya Covid 19 menerapkan kebijakan ketat antisipasi virus dengan melarang seluruh aktivitas sosial, membangun rumah sakit darurat dengan kapasitas 1000 pasien dalam seminggu.
Langkah cepat China ini diikuti oleh negara tetangga seperti Jepang, dan Korsel. Alhasil meskipun sedikit terlambat pada mulanya, penyebaran virus sudah melambat dan kondisi mulai terkendali. Lain ceritanya dengan Italia, negeri anggota Uni Eropa ini, sebaliknya sangat terlambat dalam antisipasi terhadap penyakit ini.
Dari 3 kasus tercapat pada 15 Februari 2020, virus Corona melonjak menjadi 1.128 kasus pada 29 Februari 2020, dan per hari ini 14 Maret 2020 telah mencapai 17.660 jiwa dengan lebih dari 1.200 jiwa meninggal dunia. Kasus negeri Iran hampir sama, dari 2 kasus pada 19 Februari penderita melonjak menjadi 11.000 kasus lebih per hari ini dengan lebih dari 500 kematian. (Sumber: Worldometers)
Melihat pengalaman negara-negara ini seharusnya Indonesia baik pemerintah maupun kalangan terdidik memperingatkan bahaya yang mengancam dari wabah massal Covid 19 . Namun sejauh yang diperhatikan masih banyak keterlambatan dalam mengambil kebijakan maupun kesalahan dalam mensikapi keadaan genting ini.
Wabah Thoun dan Virus Corona
Sebagian dai-dai ada yang mengambil dalil Surat At Taubah ayat 51 untuk membenarkan sikap menerima apa adanya dan berpasrah:
قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا ۚوَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakkal.”
Ayat ini adalah haqq dan benar, namun penggunaannya tidaklah tepat apabila dimaksudkan agar umat Islam tidak perlu bekerja keras merencanakan langkah-langkah penting. Terutama untuk menghambat tersebarnya virus corona sementara hanya bertenang diri, berdoa, dan menerima apa adanya musibah yang bakal menimpa mereka.
Sebaliknya, Khalifah Kedua umat Islam Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah dihadapkan pada kasus wabah menular ketika ia sedang berkunjung ke Suriah.
Apa sikap Khalifah Umar? Beliau tidak berpasrah diri dan melanjutkan rencananya mengunjungi daerah terjangkiti wabah tersebut seraya menyerukan sahabat yang lain untuk berdoa menerima yang mungkin akan menimpa mereka. Sebaliknya, Khalifah Umar mengambil keputusan tegas membatalkan rencana kunjungan tersebut, yang membuat banyak sahabat yang protes atas sikap umar itu. Riwayat lengkapnya sebagai berikut:
Ketika Umar pergi ke Syam, setelah sampai di Saragh, pimpinan tentara datang menyambutnya. Antara lain terdapat Abu Ubaidah bin Jarrah dan para sahabat yang lain. Mereka mengabarkan kepada Umar bahwa wabah penyakit sedang berjangkit di Syam. Ibnu Abbas berkata; ‘Umar berkata; ‘Panggil ke sini para pendahulu dari orang-orang Muhajirin! ‘
Maka kupanggil mereka, lalu Umar bermusyawarah dengan mereka. Kata Umar; ‘Wabah penyakit sedang berjangkit di Syam. Bagaimana pendapat kalian? ‘ Mereka berbeda pendapat. Sebagian mengatakan kepada Umar; ‘Anda telah keluar untuk suatu urusan penting. Karena itu kami berpendapat, tidak selayaknya Anda akan pulang begitu saja.’
Sebagian lain mengatakan; ‘Anda datang membawa rombongan besar yang di sana terdapat para sahabat Rasulullah Saw. Kami tidak sependapat jika Anda menghadapkan mereka kepada wabah penyakit ini.’ Umar berkata: ‘Pergilah kalian dari sini! ‘ Kemudian ‘Umar berkata lagi: ‘Panggil ke sini orang-orang Anshar! ‘
Maka aku memanggil mereka, lalu Umar bermusyawarah dengan mereka. Ternyata kebijaksanaan mereka sama dengan orang-orang Muhajirin. Mereka berbeda pendapat seperti orang-orang Muhajirin. Maka kata Umar; ‘Pergilah kalian dari sini! ‘ Kata Umar selanjutnya; ‘Panggil ke sini pemimpin-pemimpin Quraisy yang hijrah sebelum penaklukan Makkah!’ Maka aku (Ibnu Abbas) memanggil mereka.
Ternyata mereka semuanya sependapat, tidak ada perbedaan. Kata mereka; ‘Kami berpendapat, sebaiknya Anda pulang saja kembali bersama rombongan Anda dan jangan menghadapkan mereka kepada wabah ini. Lalu Umar menyerukan kepada rombongannya “Besok pagi-pagi aku akan kembali pulang. Karena itu bersiap-siaplah kalian!”
Kemudian Abu ‘Ubaidah bin Jarrah bertanya; “Apakah kita hendak lari dari takdir Allah?” Umar menjawab: ‘Mengapa kamu bertanya demikian hai Abu ‘Ubaidah?
Agaknya Umar tidak mau berdebat dengannya. Beliau menjawab: “Ya, kita lari dari takdir Allah kepada takdir Allah. Bagaimana pendapatmu, seandainya engkau mempunyai seekor unta, lalu engkau turun ke lembah yang mempunyai dua sisi. Yang satu subur dan yang lain tandus. Bukanlah jika engkau menggembalakannya di tempat yang subur, engkau menggembala dengan takdir Allah juga, dan jika engkau menggembala di tempat tandus engkau menggembala dengan takdir Allah?”
Di tengah perbincangan Umar dengan Abu Ubaidah tiba-tiba datang sahabat Nabi bernama Abdurrahman bin ‘Auf yang belum hadir karena suatu urusan. Lalu dia berkata: “Aku mengerti masalah ini. Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Apabila kamu mendengar wabah berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu datangi negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, maka janganlah keluar dari negeri itu karena hendak melarikan diri.”
Mendengar itu, akhirya Umar mengucapkan puji syukur kepada Allah, setelah itu beliau pergi. Di dalam Hadis Ma’mar ada tambahan Umar berkata: “Bukankah jika kamu menggembalakan unta di tempat yang tandus dengan meninggalkan tempat yang subur berarti kamu telah membuatnya lemah?”
Ketika itu Abu Ubaidah menjawab: “Ya.” Kemudian Umar berkata: maka berangkatlah! Maka Abu Ubaidah berangkat hingga sampai di Madinah, lalu dia berkata: “Insyaallah ini adalah tempat tinggal.” (Shahih Muslim No. 4114).
Begitupula kisah dari Sahabat Amru bin Al-Ash radhiyallahu ‘anhu.
Ketika mewabahnya penyakit bangkitlah sahabat Abu Ubaidah bin AlJarrah ra. diantara umat lalu berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya penyakit ini adalah rahmat dari Tuhan kalian dan panggilan dari Nabi kalian, juga (menyebabkan) kematian orang-orang sholih sebelum kalian, dan Abu Ubaidah memohon kepada Allah swt agar mendapatkan bagian penyakit itu untuknya, sehingga terjangkitlah beliau dan wafatlah ia. Lalu Muadz bin Jabal ra. menggantikannya memimpin umat, lalu ia bersabda kepada khalayak dan berkata sebagaimana Abu Ubaidah ra. berkata namun ia menambahkan dengan permohonan agar keluarganya pun mendapatkan penyakit tersebut, maka terjangkitilah putranya bernama Abdurrahman dan meninggallah, maka beliaupun berdoa bagi dirinya maka terjangkitilah ia seraya berkata: “Dengan ini, aku tidak mencintai sedikitpun bagianku di dunia.” lalu wafatlah beliau, dan kemudian digantikan oleh Amru bin Al-Ash ra., ketika menjadi pemimpin menggantikan pendahulunya namun berbeda pandangan dengan mereka, beliau berseru kepada khalayak umat dengan mengatakan:
أيها الناس! إن هذا الوجع إذا وقع فإنما يشتعل اشتعال النار فتحصّنوا منه في الجبال
“Wahai manusia, sesungguhnya penyakit ini apabila menimpa maka ia akan bekerja bagaikan bara api maka bentengilah dari penyakit ini dengan berlari ke gunung-gunung.” (Diriwayatkan dari Imam Ibn Hajar Al-Asqalani dalam kitab Badzal Maa’un hal 163)
Sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhu yang lain memang ada yang pasrah tidak menyarankan tindakan apapun namun hal ini bukanlah berangkat dari perintah wahyu. Ketika sahabat yang terkemuka seperti Umar bin Khattab ra. dan Amr bin Al-Ash ra. menganjurkan sesuatu yang lebih tepat maka para sahabat yang lain dapat memahami dan mengikuti petunjuk dan arahan yang lebih selamat bagi ummat pada waktu itu.
Tidaklah mengherankan bahwa beberapa pemerintah negeri Timur Tengah bahkan mengambil tindakan yang terbilang sangat janggal seperti misalnya Saudi Arabia yang menghentikan ibadah umroh sebagai langkah pencegahan, Kuwait yang sampai menghentikan sholat berjamaah dan memerintahkan muadzzin untuk mengumandangkan adzan Assholat fii buyuutikum, dan Mesir yang baru-baru ini membatasi waktu sholat jum’at. Sementara Qatar belum sampai menganjurkan sholat di rumah, namun sudah mengetatkan waktu ibadah sholat lima waktuagar jeda antara adzan dan sholat hanya 5 menit dan setelah sholat fardhu masjid akan langsung ditutup. Sedangkan untuk sholat jumat, waktu sholat jumat dari adzan dan khutbah diperpendek hingga hanya 10 menit saja.
Sains modern dalam bidang kesehatan masyarakat, khususnya bidang ilmu epidemiologi, mensyaratkan apabila suatu wilayah terjangkit maka haruslah dilakukan karantina terhadap para penderita, sementara itu untuk mencegah agar wabah tidak meluas maka prosedur yang ditempuh adalah penghentian kegiatan-kegiatan umum yang melibatkan massa agar kontak sosial dapat diperkecil sebisa mungkin. Tentu sebagai seorang muslim, tawakkal kepada Allah tetap menjadi pegangan hidup namun bukan berarti muslim harus berpasrah menerima apa adanya sementara belum menempuh daya upaya ikhtiar yang maksimal sesuai dengan ilmu pengetahuan yang ada. wallahu a’lam. ACE, Doha, 14 Maret 2020.*
PhD Student, MSc – Public Health, University of Sheffield, Sheffield, United Kingdom (2020), dan MA – Contemporary Muslim Thought and Societies Hamad bin Khalifa University, Qatar (2015)