Hidayatullah.com– Seringkali dalam mengikuti seminar kepenulisan, ada satu pertanyaan yang kerap diajukan oleh peserta kepada pemateri; Bagaimana (how) cara menulis yang baik.
Padahal, dalam tataran praktik di lapangan, pertanyaan macam ini tidak lantas mendorong si penanya bersegera membuat tulisan, apalagi sampai tahapan produktif.
“Bahkan tak jarang ‘dicampakkan’ begitu saja setelah mereka mengetahui. Buktinya, karya juga tidak muncul-muncul, ” terang Robinsah, Redaktur Majalah Mulia, ketika mengisi pelatihan jurnalistik di Pesantren Hidayatullah, Bandung, Jawa Barat, Kamis, 22 Maret 2018.
Robin kemudian menyebutkan, ada satu pertanyaan yang jauh lebih bisa menyemangati seseorang untuk produktif menulis.
“Pertanyaan itu adalah; ‘Why’? Mengapa saya harus menulis, ” ujarnya.
Seseorang yang mampu menjawab pertanyaan ini sebanyak-banyaknya, dan berkomitmen untuk mewujudkannya, ulas Ketua Penulis Muda Indonesia (PENA) Jawa Timur ini, dijamin akan tergerak untuk menelurkan karya sebanyak-banyaknya.
Ia pun mengambil perumpamaan. Seorang pekerja rela banting tulang peras keringat siang-malam, bahkan terkadang jauh dari keluarga, karena ia punya alasan kuat melakukan itu; memenuhi kebutuhan keluarga.
“Jadi tidak ada keluh-kesah dalam dirinya. Yang ada adalah spirit. Semakin banyak job ia akan semakin senang. Karena akan semakin menambah pemasukan. Artinya, kebutuhan keluar akan semakin bisa terpenuhi.”
“Begitu pula dalam hal tulis-menulis,” gugah pria asal Lampung ini. “Semakin banyak alasan yang dikedepankan untuk menulis, akan semakin bergairah dalam belajar dan berkarya.”
Dan alasan yang paling kuat untuk menjadi pendorong seorang Muslim untuk produktif menulis, dan tidak mudah futhur di tengah jalan, ialah agama, jelasnya.
Islam sejak dari awal terbitnya di jazirah Arab, telah menuntun umat ini untuk memiliki skill tulis menulis.
“Surat Al-‘Alaq yang memuat seruan membaca (iqra’) dan Surat Al-Qalam yang lebih ekplisit lagi mengupas karya tulis (wa maa yasthuruun -dan apa-apa yang mereka tulis) adalah buktinya,” terangnya.
Bahkan dalam satu kasus, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam meneladankan, dengan meminta kepada tawanan perang yang tidak mampu menebus diri dengan harta, untuk mengajari kaum Muslimin membaca dan menulis.
Spirit inilah yang akan melanggengkan semangat para penulis, khususnya pemula, untuk terus menulis, sekalipun ditolak beberapa kali oleh media.
Hal itu dikarenakan visinya adalah menjawab seruan agama, berdakwah, dengan wasilah menekuni dunia ini. Menyebar kebaikan sebanyak-banyaknya, tanpa memusingkan hasil akhir.
“Tapi kalau niatnya adalah mencari materi ataupun popularitas, itu sangat rentan sekali mogok di tengah jalan, ” papar Robin, alumnus Sekolah Tinggi Agama Islam Luqman al-hakim (STAIL), Surabaya ini.
Sosok yang juga aktif menulis di beberapa media massa Islam ini pun memberikan langkah taktis, bagaimana mengawali kepenulisan, khususnya bagi para pemula.
Katanya, yang paling penting bagi pemula adalah menumbuhkan habit/kebiasaan menulis terlebih dahulu. Dan itu dimulai dengan menulis pengalaman pribadi. Atau kejadian yang ditemui di sekitar.
Baca: Menulis Diyakini Dapat Mengontrol Emosi dan Bikin Pintar
Kenapa demikian? Karena si penulis sudah mengetahui secara utuh awalan, pertengahan, dan akhiran dari peristiwa yang hendak dibubuhkan dalam tulisan. Dengan demikian, ia tidak kebingungan lagi menyusun cerita.
“Intinya, tulislah tema-tama yang ‘gue buanget’, yang dikuasai. Tidak usah yang berat-berat dulu tema yang diangkat. Lambat laun, baru naikkan level yang lebih tinggi kualitasnya,” pungkas Robin.
Pelatihan jurnalistik itu sendiri diikuti oleh seluruh santri MTS dan SMA, dan beberapa asatidz.* Kiriman Abu Aqila