Hidayatullah.com– Dalam sebuah acara bedah buku di Panceng, Gresik, Jawa Timur, penghujung pekan kemarin, Sabtu (18/11/2017) lalu, ada sebuah pertanyaan dari seorang peserta, yang dijawab dengan mengundang gelitik tawa dari para hadirin.
“Pak, dalam kepenulisan Anda produktif sekali. Selain buku, Anda juga aktif menulis di berbagai media massa,” ujar si peserta itu memulai prolog.
“Pertanyaan saya,” sambungnya, “Bagaimana tips menjaga mood (suasana hati) untuk menulis. Karena ini acap dialami oleh penulis, terutama pemula?” tanyanya.
Tak sependapat dengan pernyataan itu, Imam Nawawi, penulis buku tersebut, membantah keterkaitan ‘mood dan tidak mood’ dalam berkarya tulis.
Baca: Dorong Generasi Kekinian Berani Menulis, LDK Salim UNJ Gelar IJT
Sebab, ulas penulis sejumlah buku itu, pada dasarnya manusia itu sendirilah yang menyimpulkan dirinya tengah ‘mood atau tidak mood (bad mood)’.
Di lain sisi, menurutnya menulis sudah menjadi keharusan bagi seorang beriman. Untuk menyebar manfaat bagi generasi masa depan, sekaligus sebagai pengabadi karya.
“Apa yang saya ucapkan dalam forum ini akan hilang seiring waktu. Tapi apa yang saya tulis, insya Allah ‘abadi’,” ungkap Wakil Ketua Penulis Muda Indonesia (PENA) ini.
Maka seharusnya, kata dia, umat Islam tidak mengenal istilah ‘mood tidak mood’ dalam menulis. Tapi lebih hanya kepada lelah fisik dan fresh. Itu manusiawi.
Lagipula bila ditilik sejarah ulama-ulama terdahulu, tidak ada istilah menulis menunggu tumbuhnya mood.
Ia kemudian memberi contoh Imam Bukhari. Katanya, sang Imam asal Bukhara itu tidak akan pernah berhasil menulis kitab shahihnya, bila mana ‘mood’ menjadi patokannya menulis.
“Bagaimana mau selesai, baru mau menulis, terserang bad mood. Tapi ini semua tidak pernah dialami oleh para ulama, khususnya Imam Bukhari,” pungkas penulis buku Mindset Surga ini, yang disambut gelitik tawa para hadirin.* Khairul Hibri