Hidayatullah.com–Sebagai wujud komitmen syukur di tengah pandemi, walau harus menggunakan perangkat smartphone Mahasiswi STIS Hidayatullah senantiasa konsisten setiap dua pekan sekali menggelar Kuliah Whatsapp (Kulwap) Jurnalistik bersama dua nara sumber, yakni Maskur Suyuti dan Imam Nawawi.
“Alhamdulillah pada hari ini (Senin/29/06/2020) pertemuan dua pekanan ini berjalan lancar dan konsisten serta menggembirakan, karena antusias para mahasiswi yang kini berada di rumah masing-masing. Mereka semakin termotivasi karena materi Kulwap senantiasa dihubungkan dengan kondisi terkini. Seperti hari ini, temanya menyentil sekali, yakni “Hidup Normal dengan Menulis,” ujar Dosen STIS Hidayatullah Sahlah, MPI.
Materi tersebut disampaikan oleh ustadz Masykur Suyuti sebagai pemateri. Dalam pertemuan itu, Penulis Buku Mutiara Iman itu menekankan betapa pentingnya menulis bagi seorang mahasiswi, pembelajar dan setiap elemen yang tergabung didalamnya.
“Sekarang ini wacananya ada di kata kunci normal. Kenormalan yang dimaksud memiliki ciri. Seperti hidup normal itu berarti ada warna lain yang menyertainya. Ada semangat ada galau. Ada saat ide melimpah dan ada masa stuck dan tak bergerak. Dan seterusnya, harusnya normal bagi para pembelajar terutama menulis semakin mendorong diri lebih produktif,” ulasnya.
“Kalau itu terjadi. Tak usah khawatir. Itu pertanda alamat baik. Tinggal on the track insyaAllah. Nah sekarang hidup normal bagi penulis adalah ya menulis itu. Dan, bagi penulis yang berpegang bahwa menulis adalah bagian dari kenormalannya, maka jika tidak menulis ia akan merasa tidak normal,” tambahhnya.
Lebih lanjut Masykur memberikan beragam analogi betapa kenormalan kadang berupa kondisi yang harus disikapi dengan lompatan kebiasaan.
“Kenormalan juga beragam dan memiliki banyak makna dan definisi. Seperti Ada tukang batu tapi tidak menulis? Itu normal namanya. Sesuai statusnya. Perkakasnya adalah alat pertukangan. Namun kalau tukang batu itu ternyata menulis juga , itu namanya hebat.
Begitupun pembelajar yang notabene kegiatannya adalah menulis dan membaca. Maka menulis merupakan kenormalan yang tak pernah lepas darinya. Maka normal baginya adalah menulis, lebih jauh menulisnya didasari niat menegakkan peradaban,” urainya.
Masykur pun mengingatkan bahwa menulis merupakan ladang dakwah yang tak pernah putus. Dengan tulisan dapat mengubah banyak pikiran orang.
“Sesuatu yang buruk jika dibuatkan narasi yang indah maka akan terlihat bagus. Begitupun sebaliknya sesuatu yang baik dan benar jika dibuat narasi yang buruk maka akan buruk pula hasilnya. Di sini peran penulis Muslimah itu penting,” tegasnya.
Agar tak mudah patah dan berhenti di tengah jalan, penting bagi penulis pemula memperbaiki niat.
“Pastikan niatnya. Menulis untuk apa. Jika hanya mencari pelanggan, follower, dan subscriber. Maka menulis akan terhenti. Maka ubah niat itu menjadi lillah. Bahwa menulis adalah wadah untuk menyebarkan kebaikan dan manfaat. Bukan hanya didunia melainkan sampai akhirat kelak,” jelasnya.
Terakhir, Masykur yang pernah menjabat Ketua Umum Penulis Muda Indonesia itu meyakinkan bahwa menulis adalah kerja-kerja peradaban.
“Yakinlah bahwa menulis adalah jalan dakwah. Bahwa ini adalah jalan mulia. Jalan para ulama. Bagian dari peradaban Islam,” pungkasnya.* Meliana Kusuma