Hidayatullah.com– Bertempat di Gedung Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), DIY, Keluarga Mahasiswa Pascasarjana (KMP) mengadakan Urgent Group Discussion (UGD) dengan tema “Mengenal Pendidikan Inklusif Lebih Dekat”, Jumat (18/03/2016).
Kegiatan yang dihadiri oleh 20 orang peserta dari sejumlah jurusan tersebut dipandu langsung oleh master of discussion, Shandy Abdi Kusuma, MPd.
Sesuai tema yang diusung, acara diskusi diawali dengan pemaparan mendalam berbagai hal tentang pendidikan inklusif. Mulai dari konsep pendidikan inklusif, pendidikan inklusif sebagai kebijakan publik, implementasi pendidikan inklusif, fakta lapangan, dan beberapa persoalan lainnya.
Dalam materinya, sang pembicara, Ahmad Niayatulloh mengatakan, pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik menikmati pendidikan secara bersama-sama. Baik ia normal ataupun yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa lainnya.
“Jadi salah satu penilaian mutu institusi pendidikan adalah jika menyediakan fasilitas untuk penyandang disabilitas dan anak berkebutuhan khusus (ABK),” papar Ahmad menerangkan.
Hendaknya penilaian sekolah itu, lanjut Ahmad, didasarkan pada kemampuan masing-masing anak serta tak menggunakan kurikulum standar pada keumuman. “Sehingga tidak ada lagi istilah tinggal kelas dan tidak lulus di sekolah,” imbuh Ahmad.
Lebih jauh ia menyampaikan sejumlah persoalan di lapangan terkait pendidikan inklusif di atas. Mulai dari kurangnya sarana dan sumber belajar asesibilitas untuk mengakomodasi kebutuhan mobilitas dan belajar ABK.
“Kami juga kekurangan guru reguler yang memiliki kompetensi memberikan layanan ABK. dan belum optimalnya penyediaan bahan ajar sesuai kebutuhan ABK,” ungkap Ahmad menjelaskan.
Usai pemaparan materi, acara berlanjut ke diskusi dan berbagi pengalaman dengan membagi peserta tersebut menjadi lima kelompok.
Dalam diskusi ini diungkap, ada beberapa kendala yang menyertai jika siswa normal dicampur dalam satu ruangan dengan anak yang terkategori Mental Retardation (MR). Di antaranya adalah bahan ajar yang dipakai oleh guru biasanya mengacu kepada pembelajaran umum dan tidak ada bahan khusus untuk anak MR.
“Akibatnya yang terjadi, guru reguler lebih fokus pada anak-anak yang normal. Sedang anak MR hanya diam di belakang bersama guru pendamping, itupun kalau ada,” ungkap seorang peserta.
Dari usulan lain dikatakan, untuk membentuk interaksi sosial agar anak yang berkebutuhan khusus tidak minder dan yang normal bisa menghormati yang berkebutuhan khusus, bisa dilakukan penyatuan mereka di gedung sekolah yang sama, tapi di ruang pembelajaran yang berbeda.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Cara ini bisa dipakai, agar siswa normal tak perlu memperlambat pelajarannya karena mengikuti yang berkebutuhan khusus,” usul lainnya.
“Sekali waktu pihak sekolah bisa juga menggelar sebuah acara dengan mengumpulkan kedua jenis siswa tersebut agar terjadi interaksi sosial di sana,” imbuhnya.
Untuk diketahui, program UGD adalah salah satu kegiatan Keluarga Mahasiswa Pascasarjana UNY. Diharapkan dari program ini, mahasiswa terbiasa dalam melahirkan gagasan-gagasan yang bisa bermanfaat untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi di lapangan.* Kiriman Siti Rofiqoh, pegiat komunitas PENA Yogyakarta