Oleh: Murniati Mukhlisin
DALAM Tafsir Al-Munir mengenai QS An-Nisa (4): 3 dan 129, Syaikh Wahbah az-Zuhaili menekankan keadilan dalam bentuk nafkah ekonomi seperti makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal(Ayat 3) dengan pengecualian dalam pengertian makna adil yang tidak dibebankan kepada para suami yang berupa rasa cinta, hasrat, dan berbagai naluri alamiah, karena hal – hal tersebut adalah diluar batas kemampuan manusia (Ayat 129).
Dari hasil diskusi dengan Ustaz Abdul Mughni dan Ustaz Shaifurrokhman Mahfudz dari STEI Tazkia, ada beberapa rujukan yang dapat kita pelajari mengenai model keuangan keluarga, sebagai berikut:
Rasullah pernah memberikan contoh bagaimana hidup mandiri kepada seseorang yang tidak dapat memberikan nafkah kepada keluarganya. Rasulullah Shalallallahu ‘Alaihi Wassallam menyuruhnya untuk mengambil sesuatu yang berharga di rumahnya.
Kemudian dia mengambilnya dan menyerahkannya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam, yaitu selembar selimut dan sebuah cangkir. Rasulullah kemudian menjualnya melalui proses lelang yang akhirnya seorang pembeli membayarknya dengan 2 dirham. Lalu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam memberikan hasil lelang itu kepada laki-laki tersebut. Setelah itu menyuruhnya untuk membelikan makanan untuk keluarganya serta membeli sebuah kapak untuk mencari kayu bakar dengan kapak itu.
Beberapa hari kemudian, laki-laki itu kembali menghadap Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dan melaporkan bahwa ia telah mendapatkan 10 dirham dari usahanya (HR. Ibnu Majah).
Seorang lelaki yang memiliki 2 dinar dating kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dan bertanya apa yang harus dia buat dengan uang tersebut kemudian dia diberikan nasihat untuk menginfaqkan satu dinar untuk dirinya sendiri dan satu dinar lagi untuk istri, anak dan pembantunya (HR Abu Dawud Ibnu Hibban).
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: suatu waktu ketika seorang di tanah luas mendengar suara awan di langit “siramilah kebun fulan” dan awan tersebut bergerak menuju kebun yang dimaksud dan menyiraminya. Ketika ditanya apa yang menyebabkan awan menyirami kebunnya sang lelaki menjawab: setiap panen dari kebun ini aku jadikan tiga bagian 1/3 disedekahkan 1/3 dikonsumsi untuk pribadi dan keluarga 1/3 dikembalikan untuk perawatan. (HR Muslim).
Dari contoh – contoh di atas, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam sangat jelas menekankan pentingnya memberi nafkah yang berkesinambungan untuk keluarga dan membiasakan hidup mandiri serta memiliki harta dan pada saat yang bersamaan gemar bersedekah walau sedang dalam keadaan sulit.
Bagi keluarga poligami, nasihat – nasihat tersebut di atas dapat menjadi rujukan dalam praktik keuangan keluarga.
Baca: 14 Pasangan Poligami Nikah Bareng Curi Perhatian Publik
Tips
Ada tips lain dari ilmu manajemen keuangan modern yang juga dapat membantu pengelolaan keuangan keluarga poligami yaitu dengan cara membuat perencanaan yang tercatat rapi per keluarga, yang dipegang oleh setia pistri.
Contohnya anggaran belanja tahunan, impian keluarga, arus kas lengkap dengan prioritas pengeluaran, daftar utang-piutang, perhitungan zakat, daftar harta terpisah antara suami dan istri, serta edukasi perhitungan harta waris.
Tentu saja dalam perencanaan ini, semuanya harus dibahas dalam keluarga masing – masing.
Dalam kesempatan ini ada satu ilustrasi perhitungan harta waris dalam keadaan jika suami meninggal dunia, misalnya si mayit meninggalkan orang tua kandung, empa tistri, dua anak laki –laki dari istri pertama dan satu anak perempuan dari istri keempat. Dari pemahaman QS An-Nisa (4): 11-12 perhitungannya adalah sebagai berikut: ”katakanlah harta bersih setelah dikurangi utang dan wasiat adalah Rp.100 juta maka pembagiannya adalah 1/6 bagian untuk ayah kandung mayit (sekitar Rp.16.6 juta), 1/6 untuk ibu kandung mayit (sekitar Rp.16.6 juta), 1/8 untuk para istri yang ditinggal (Rp.12.5 juta atau Rp.3.125.000 per istri), dan sisanya sekitar Rp. 54.1 juta dibagikan untuk dua anak laki – laki (masing – masing mendapatkan sekitar Rp. 21.6 juta) dan satu anak perempuan (Rp. 10.8 juta).Beberapa perhitungan di atas adalah pembulatan.
Siapkah Berpoligami?
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam memutuskan menikah lagi setelah ditinggal mati oleh Khadijah, istri pertama dan satu – satunya.
Saat itu usia Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam adalah 54 tahun dimana ketika kebutuhan atau hasrat biologis pada usia ini biasanya menurun (Tafsir Al-Munir).
Yang dinikahi Rasulullah pun adalah umumnya janda. Artinya tujuan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam berpoligami adalah tujuan kemanusiaan, sosial dan ke-Islaman dan cobaan hidup bagi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam tidaklah mulus ketika berpoligami.
Baca: Poligami Ala Kanada: Menikahi 24 Istri, Dikaruniai 145 Anak
Hal ini adalah contoh bagi kita semua dimana orang mulia seperti Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dan para istri – istrinya yang digelar ummul mu’minin juga pernah berselisih karena rasa cemburu dan hak menuntut keadilan.
Masalah keuangan juga harus dipikirkan oleh suami bukan hanya ketika di awal menikah, tetapi ketika sudah menikah, ketika masing – masing istri mempunyai anak dan ketika ajal dating dimana urusan harta waris untuk kecukupan dan kemandirian para keluarga yang ditinggalkan. Tentu saja pemahaman soal harta perlu ditanamkan dengan menekankan factor tarbiyah ruhiyah dalam jiwa istri dan anak – anak.
Misalnya dalam buku Alfu Qishshoh wa Qishshoh oleh Hani Al Hajj dibandingkan tentang dua khalifah di jaman Dinasti Bani Umayyah: Hisyam bin Abdul Malik dan Umar bin Abdul Aziz masing – masing memiliki 11 anak. Hisyam meninggalkan warisan kepada masing – masing anak lelakinya sebesar 1 juta dinar sedangkan Umar hanya mewarisi setengah dinar.
Ternyata putra Umar yang lebih sukses dalam bidang keuangan dibandingkan putra Hisyam.
Urusan poligami adalah sesuatu yang syar’i, tapi tentu harus banyak ilmu yang harus dipelajari yang salah satunya adalah bab keuangan keluarga Islami. Wallahua’lambis-shawaab. Salam Sakinah!
Motivator Sakinah Finance, Wakil Ketua STEI Tazkia