Sambungan artikel KEDUA
SUASANA makin padat, masuk Masjidil Haram makin sulit, jamaah haji Indonesia sudah berangsur meninggalkan Madinah menuju Makkah. “Jangan mendorong, jangan megambil tempat orang lain, jangan jadi dholim dalam ibadah,” kata Ustad Rosyidin.
Nasehat itu saya maknai beri kesempatan bagi jamaah yang baru datang, jika kita sudah pernah mendapatkan tempat terbaik, maka jangan lagi memaksakan diri menguasai tempat terbaik itu, beri pada jamaah lain.
Belum puas shalat di Masjidil Haram, kami harus bergeser ke rumah transit bersiap melakukan ibadah lanjutan untuk Mabit di Mina dan Wukuf di Arafah.
Langkah ini kita lakukan agar lebih mudah untuk mencapai Mina, karena kalau lambat bergerak keluar dari Makkah kita akan sulit sampai di Mina untuk mabit (menginap). Kami memilih satu rumah serupa flat, dan tiap hari kami bersiap untuk puncak ibadah haji. Shalat jamaah, ngaji, evaluasi ibadah dan mengencangkan niat,begitu seterusnya. Kami sudah tidak boleh campur, para suami sendiri, demikian juga para istri. Alhamdulillah, di sini jauh lebih enak, karena KBIH menyiapkan tukang masak Indonesia dan mengakomodasi selera kita, mulai gorengan, bakso sampai rawon tersedia. Nyuci dan setrika juga bisa, lebih leluasa daripada tinggal di hotel.
Kondisi Kota Makkah benar-benar panas bukan main. Hari-hari menjelang wukuf, puncak panas siang hari bisa sampai 47-49 derajat celcius, bayangkan dengan di Jakarta yang hanya 31-33 derajat. Wajah seperti tertampar sandal bila tiba-tiba tertiup panas dan pasir.
Penyelamatnya hanyalah sorban yang ditutupkan ke muka. Panasnya yang kering membuat kita tak banyak berkeringat. Bibir mulai pecah-pecah, tumit merekah seperti tanah. Pelembab Indonesia semacam Vaseline yang saya bawa dari Jakarta tak mempan jadi pelembab kaki, Vaseline Arab lebih mempan, karena lebih kental.
Jangan sampai kaki pecah jadi luka, kalau itu terjadi kita bakal kesulitan jalan, dan luka kecil di ujung jari bisa sangat menganggu pergerakan dari satu tempat ke tempat lain.
Saat Subuh di masjid sebelah rumah transit, saya menemukan beberapa telur pecah yang masih segar, begitu menjelang Dhuhur, telur di trotoar itu sudah mateng! Bisa bayangkan panasnya, “Wah bagaimana nanti di Neraka?” tanya saya dalam hati.
Rumah yang kami sewa ini punya orang Indonesia yang bersuamikan warga Arab Saudi. Rumahnya besar, kamarnya banyak . Di sini kami harus mandi pagi pagi sekali kalau tidak mau tersiksa, kenapa tersiksa? Karena kalau sudah matahari tinggi, torn air (bak penampung air) di atap rumah akan ‘mendidih’ dengan sendirinya, sehingga tanpa pemanas airpun, airnya puanas. Kami biasanya menampung air di bak, agar bisa mandi dengan nyaman, kalau langsung dari shower ya bisa dibayangkan. Mateng…
Subhanallah panasnya, keluar rumah, kami selalu menutup wajah dengan sorban. Seraya lebih nyaman dan terlindung.
Di sinilah saya tahu, mengapa pakaian-pakain orang Arab memang diciptakan untuk tahan panas se-ekstrem ini. Karena longgar, panjang dan pakai sorban. Jika Anda hanya pakai celana panjang saja dan topi, saya jamin pasti gosong dan tak nyaman dalam pergerakan.
24 September 2015, dari pagi hari kami melakukan Thawaf Ifadhah , kami selesai sebelum shalat Idul Adha, lalu kami menuju rumah transit untuk mengganti kain ihram dan mencukur gundul rambut kami (tahallul).
Innalillahi Wa InnaIllaihi Rojiun… Baru jam 11 menjelang siang , kami mendengar ada musibah di Mina yang menimpa jamaah haji. Kabar yang belum jelas menyatakan yang meninggal ratusan karena terinjak-injak. Kami kaget dan menerka-nerka, dimana lokasinya. Beberapa teman langsung menelepon teman sesama haji memastikan dan mencari tahu nasib mereka.
Agak siang, kami kembali ke Mina untuk persiapan lempar jumrah setelah Wukuf di Arafah. Di luar dugaan, pihak keamnan Arab Saudi melarang bus-bus yang membawa jamaah untuk masuk masuk ke Mina. Semua jalan ditutup untuk keperluan evakuasi korban.
Mau tidak mau , bus harus berhenti dua kilometer dari tenda kami, dan kami harus berjalan menuju tenda. Hiruk pikuk dan kesibukan evakuasi tampak disana-sini, mobil ambulan dan helikopter hilir mudik, petugas membawa tandu masih juga berlarian.
Saya bertanya pada diri sendiri, “Wah, jam segini belum selesai evakuasi, berapa korbannya? Pasti banyak,” begitu gumam saya. Namun saya tak ingin bertanya, semua saya telan kembali.
Perjalanan menuju kemah kami yang berjarak tiga kilometer menjadi perjuangan yang luar biasa di tengah panas terik luar biasa.
“Mirip di Padang Mahsyar, bagaimana Neraka?” kata saya dalam hati.
Beberapa riwayat menyebutkanan, saat di Padang Mahsyar, matahari yang berada tepat di atas kepala. Tidak ada yang tahu berapa volume dan kekuatan lidah api dan panasnya kecuali Allah Subhanahu Wata’ala sendiri.
Ketika itu, manusia-manusia akan digiring para malaikat yang bertugas menggiring ke tempat yang telah ditentukan. Malaikat memberi kesaksian atas semua amal perbuatannya di Hari Kiamat. Subhanallah!
Riwayat dari Al-Miqdad bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassallam pernah bersabda, “Pada hari kiamat nanti matahari akan didekatkan pada makhluk hingga jaraknya mencapai satu mil.” Sulaim bin Amir yang meriwayatkan hadis ini mengatakan, “Demi Allah, aku tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan satu mil tersebut. Apakah satu mil tersebut ukuran bumi atau sejauh pandangan mata, sehingga manusia kan tenggelam dalam keringat berdasarkan amal perbuatan mereka: ada yang sampai kedua tumitnya, ada yang sampai pada kedua lututnya, dan ada yang benar-benar tenggelam oleh keringat.”
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Pada hari kiamat nanti manusia akan mengeluarkan keringat hingga keringat tersebut mengalir di bumi (Padang Mahsyar) sehingga tujuh puluh hasta, dan keringat tersebut mengekang (membenamkan) mereka hingga mencapai telinga mereka.” (HR Bukhari dan Muslim).
Padahal ini belum seberapa. Sementara nanti di hari pembalasan, kita semua akan tenggelam dalam peluh dan keringat hingga peluh dan keringat tersebut membanjir di Padang Mahsyar sehingga tujuh puluh hasta, yang membuat otak bisa mendidih.

Pertanyaan nakal dan konyol seringakali muncul begitu saja, namun saya mencoba menguasai diri dan yakin se-yakin yakinnya bahwa tidak ada kejadian yang kebetulan di dunia ini.
“Orang yang selalu beranggapan kebetulan itu orang yang tauhidnya dipertanyakan,” mengingat kata guru ngaji saya dari Jombang sembari mengingat wajahnya saat di Tanah Air.
Saya melihat tenda-tenda penjaja buah di tepi jalan terangkat dibawa angin. Payung-payung kami terbawa dan terbalik. Rupanya Allah meninginkan kami menikmati ‘tester Neraka’ ini.
“Baiklah…” jawab saya dalam hati. Angin dan debu pasir masih saja menderu, panas luar biasa, karena matahari sedang diatas kepala.
Untung ada terowongan yang menembus gunung yang sedikit membuat kami sedikit tak kepanasan, meskipun hawa panas tak bisa ditangkal. Saya membasahi saputangan handuk dan saya tutupkan pada kepala yang gundul bersih itu. Tidak sampai 15 menit handuk itu kering, berulang kali begitu. 15 menit berjalan di terowongan, kami kembali disambut panas itu.
Askar –askar yang membawa semprotan air dan air mineral cukup menghibur kami. Dari kejauhan sudah terlihat pucuk tenda-tenda itu , disana tenda kami, tapi masih jauh lagi. Akhirnya setelah sejam setengah berjalan kami kembali mencapai tenda.
“Tuh di jalan yang kelihatan dari sini, disitu kejadiannya,” kata Kang Uep, Muttowif kami.
“Subhanallah, ratusan orang meninggal, dekat sekali dengan tenda ini.” Batin saya. Kematian tidak memilih tempat, akhirnya saya dapati bahwa korban lebih dari 2 ribu orang.
Sungguh Pemerintah Arab Saudi bertindak cepat, mereka menggembok pintu-pintu maktab dan membagikan selebaran jadwal untuk lempar jumroh. Langkah ini untuk meminimalisasi kejadian serupa, karena banyak jamaah yang tidak taat pada jadwal yang sudah diatur. Seperti jamaah Indonesia yang ikut syahid itu seharusnya punya giliran lempar jumroh jam dua siang, namun ikut gelombang melempar pada jam 10 sampai 11 pagi, waktu yang afdhal (waktu utama) sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam waktu melontar Jumrah Aqabah usai bermalam di Muzdalifah. Maka jadilah konsentrasi massa yang tidak bisa di atur.
Kami sendiri memilih melempar jumroh malam hari dan di lantai empat, saat suasana sudah agak sepi. Haji sebenarnya adalah gambaran perjuangan manusia. Al-hayatu jihaadun, bahwa hidup itu keseluruhannya adalah perjuangan. Dan perjuangan pertama adalah perjuangan mengalahkan lawan terbesar dalam hidup.* (bersambung)