Hidayatullah.com—Kantor Urusan Haji (KUH) mengadakan pertemuan dengan sembilan syarikah/muassasah penyelenggara umrah yang cukup besar di Arab Saudi. KUH dalam pertemuan itu mengingatkan bahwa travel tak berizin dapat dipidana.
Konsul Haji KJRI Jeddah Nasrullah Jasam mengingatkan para syarikah agar mereka memperhatikan status penyelenggaraan perjalan ibadah umrah (PPIU), berizin atau tidak. Sebab, regulasi di Indonesia mengatur bahwa jama’ah umrah Indonesja harus berangkat melalui PPIU atau travel yang telah memiliki izin dari Kementerian Agama.
“Jika ada travel yang tidak berizin memberangkatkan jama’ah, maka itu adalah tindakan kriminal/pidana dan dapat dikenakan hukuman penjara. Kami meminta agar muasasah mengecek legalitas perizinan travel yang akan diajak kerjasama,” tegas Nasrullah di Jeddah, Kamis (18/8/2022).
Terkait rencana pemerintah Arab Saudi untuk memberlakukan sistem bussines to consumer (B to C) dalam penyelenggaraan umrah, Nasrullah berharap agar hal itu dibatalkan. Sebab, dengan skema B to C, maka saat keberangkatan, tidak ada yang bertanggung jawab jika ada masalah yang menimpa jama’ah saat berada di Arab Saudi.
“Skema B to C juga tidak sejalan dengan regulasi di Indonesia yang mengharuskan pemberangkatan jama’ah umrah melalui PPIU berizin,” terangnya.
Selain masalah perizinan, lanjut Nasrullah, Kementerian Agama juga sudah mengatur bahwa PPIU harus memiliki standar layanan minimal dalam pemberangkatan jama’ah umrah. Standar layanan tersebut antara lain:
1. Kesesuaian paket layanan dengan perjanjian tertulis dengan jama’ah
2. Transportasi pesawat maksimal 1 kali transit
3. Hotel di Makkah maksimal 1000 meter dari Masjidil Haram dan maksimal 700 meter dari Masjid Nabawi. “Jika lebih dari itu, harus disediakan bus shuttle untuk jama’ah,” tukas Nasrullah.
4. Satu kamar maksimal diisi empat orang.
5. Konsumsi 3 kali sehari
6. Ada pelayanan kesehatan dan pengurusan jama’ah sakit dan wafat
“Karena itu, kami minta agar muasasah atau syarikah juga berkomitmen terhadap layanan transportasi, hotel, dan konsumsi jama’ah,” pesan Nasrullah.
“Saat kedatangan dan kepulangan jama’ah umrah, juga harus ada petugas muasasah yang ikut menjemput/memberangkatkan mereka di Bandara, termasuk mengurus tasrih jama’ah umrah untuk masuk Raudah Masjid Nabawi,” sambungnya.
Kasubdit Pengawasan Umrah dan Haji Khusus Noer Aliya Fitra (Nafit) menambahkan bahwa setiap jama’ah umrah Indonesia telah dibekali kartu identitas yang dicetak setiap PPIU. Pihak muasasah/syarikah perlu mengecek dan memastikan setiap jama’ah sudah memiliki kartu identitasnya.
“Pada kartu identitas itu, ada QR code yang bisa dibaca menggunakan alat scan QR code, dan dapat menunjukkan nama, nomor paspor, hotel yang ditempati, tanggal berangkat dan pulang umrah, serta sertifikat vaksin covid-19,” terangnya.
Saat request visa umrah, lanjut Nafit, jemaah umrah juga sudah harus membayar jaminan/asuransi kesehatan dan kematian. Untuk jemaah yang sakit, dirawat di rumah sakit pemerintah. Jika tidak di rumah sakit pemerintah, muasasah harus tetap melakukan pengawalan terhadap risiko biaya yang timbul.
“Untuk jama’ah yang wafat, kami mohon agar dipermudah saat mengurus klaim asuransi kematian yang bersangkutan,” harap Nafit.
Terkait dengan jama’ah yang pulang tidak dengan rombongannya karena sakit di rumah sakit, Nafit berharap muasasah dapat ikut bertanggung jawab mendampingi dan mengurusi jama’ah, termasuk untuk proses pemulangannya dari Arab Saudi ke Indonesia.
“Kantor Urusan Haji KJRI Jeddah juga minta agar mendapatkan laporan jama’ah sakit di Rumah Sakit Arab Saudi dari muasasah, dan dapat bekerjasama untuk proses pemulangan mereka dari Arab Saudi,” tandasnya.*