Sambungan artikel PERTAMA
Di berbagai media sosial, termasuk dibeberapa WAG (Whats Ap Group) yang saya ikuti diskusi tentang ini, dengan berbagai macam analisa bermunculan. Termasuk membahas siapa MP termasuk orang-orang yang menduduki sebagai eksekutif dan komisaris diperusahaan itu, yang diragukan komitmen dan keberpihakannya terhadap Islam.
Meskipun belakangan saya juga mendengar, bahwa ada orang-orang besar muslim, yang memanfaatkan PADI sebagai “vehicle” untuk masuk ke BMI. Kesemuanya masih samar, namun bahwa PADI sebagai standby buyer adalah sebuah kenyataan.
Sebagai pembeli siaga, tentunya masuknya PADI adalah menunggu dari bagaimana para pemegang existing saham melalui skema HMETD itu mengambil keputusan.
Jikalau nanti pemegang-pemegang saham existing tersebut, tidak berminat membeli saham-saham yang nantinya akan diterbitkan tersebut, maka langkah PADI akan menjadi mulus, jika ternyata pemegang saham membeli saham baru yang diterbitkan, maka langkah PADI untuk kali ini gagal.
Sebagaimana, kita ketahui, tawaran dari PADI sebagai standby buyer, adalah siap mengucurkan dananya sebesar Rp. 4,5T atau setara dengan 51% saham. Proposal dari PADI ini, secara pragmatis merupakan jawaban secara perhitungan kalkulasi bisnis dimaksud. Namun benarkah ini akan menyelesaikan masalah, atau bahkan membawa musibah?
Butuh Proses
Namun sekedar untuk memberikan penjelasan alias informasi awal, bahwa MP saat ini sebagaimana tersebut di atas, baru pada tahap sebagai Standby Buyer / Pembeli Siaga, berkenaan dengan rencana peningkatan modal BMI tersebut.
Sebagai perusahaan publik (tbk), maka melalui keterbukaan informasi publik, padi me-releasi, rencana pembelian BMI tersebut. Namun, sebagaiman ketentuan yang ada, maka existing shareholder diberikan prioritas untuk membeli namun apabila tdk terbeli oleh existing shareholder, maka PADI akan memiliki kesempatan untuk membelinya.
Tetapi untuk membeli saham yang baru diterbitkan tersebut, masih ada proses-proses yang harus dilalui, seperti kesepakatan harga, persetujuan OJK (otoritas Jasa Keuangan) dan lain-lain.
Selain itu, mengingat nilai pembeliannya adalah lebih dari sepuluh kali lipat modal PADI maka MP juga harus melakukan peningkatan modal terlebih dahulu.Sebagaimana kita ketahui dari laporan Semester I tahun 2017 aset MP adalah Rp. 478,39M, sedangkan nilai transaksi saham yang akan dilakukan untuk mendapatkan 51% saham tersebut adalah Rp. 4,5T.
Dalam proses ini mungkin baru akan bisa diketahui, siapa sebebarnya ultimate shareholder Bank Muamalat, melalui MP. Dan sekali lagi ini butuh proses, butuh waktu, termasuk sumber dana dari MP untuk membeli saham BMI tersebut.
Sebagaiman kita ketahui melalui berbagai media, OJK juga akan mengkaji aksi korporasi PADI ini. Dimana OJK akan menimbang antara lain : menimbang kemampuan keuangan serta kredibilitas bakal calon pemegang saham BMI. Termasuk memperlebar size (menambah modal untuk pembelian saham) sebagaimana dimaksud di atas. Dan ternyata OJK pun masih belum menerima ajuan aksi korporasi tersebut.
Existing Shareholder adalah kunci
Dari penjelasan di atas, tentunya rencana penerbitan saham baru ini, termasuk pembelian oleh PADI adalah atas izin pemegang saham existing (existing shareholder). Artinya pemegang saham yang adaakan menentukan perubahan komposisi saham, sebagaimana jual beli saham biasa.
Pemegang saham existing harus peka terhadap keinginan umat tersebut. Tidak bisa lagi, para pemegang saham existing berkelit, bahwa hal ini hanya urusan bisnis an-sich. Tetapi dalam sekala tertentu, ini merupakan pembelaan atas tegaknya peradaban islam.
Jika kemudian umat dengan pengetahuan terbatas itu (meskipun tidak sedikit yang faham juga) bereaksi keras atas keinginan masuknya PADI sebagai pemegang saham (mayoritas) adalah sebuah kewajaran.
Spirit 212, yang diikuti dengan aksi-aksi berikutnya, beberapa waktu lalu, merupakan salah satu wujud dari bersatunya umat Islam, tidak hanya berdampak politis, namun mampu dikapitalisasi sebagai kekuatan ekonomi umat, tidak bisa di nafikan. Pemegang saham, harus memahami ini semua, sebagai energi positif bagi bangkitnya ekonomi umat.
Dari sini, maka sekalilagi seharusnya pemegang saham melihat semua ini sebagai sebuah “modal” yang patut diapresiasi, sehingga dalam HMETD, mereka justru mengambil langkah yang membuat umat semakin simpati atas BS, terutama BMI. Karena ada keberpihakan yang jelas terhadap umat Islam. Paling tidak, mereka tidak membiarkan pembeli saham baru kepada investor, yang diragukan keberpihakan terhadap umat.
Jika pemegang saham, gagal menghadirkan harapan umat ini, maka yang terjadi bisa jadi umat melakukan rush, menarik semua simpanan, melakukan take over semua pembiayaan dari BMI ke Bank Syariah lainnya. Atau lebih jauh dari itu, akan lahir kesimpulan bahwa tidak ada bedanya antara BS dan Konvensional. Jika ini yang terjadi, bukan menyelesaikan masalah tetapi membawa musibah. Na’udzubillah.
Beberapa Solusi
Ada beberapa solusi yang bisa ditawarkan, dengan satu semangat untuk mengembalikan kepemilikan BMI ke pelukan umat Islam Indonesia.
Sebagaimana dijelaskan di awal, spirit dari pendirian BMI saat itu adalah untuk memberikan akses permodalan bagi umat Islam Indonesia, untuk medekatkan dengan akses permodalan. Sehingga saat pendiriannya, 100% saham BMI dimilki oleh Umat Islam Indonesia.
Namun kini, setelah 25 tahun sejak berdirinya BMI, komposisi kepemilikan saham saat ini, sekitar 65% lebih dimiliki oleh pemegang saham asing. Meskipun semuanya masih mewakili institusi Islam. Baik oleh Islamic Development Bank, Bank Boubyan, Atwill Holding Limited, National Bank of Kuwait dan lain sebagainya.
Jika kondisi saat ini, dipandang sebagai momemtum, maka energi 212 yang terus membesar itu, merupakan potensi umat yang bisa diarahkan ke sini. Disamping itu, jika pemerintah juga memiliki keberpihakan yang kongkrit terhadap ekonomi umat, maka saat ini, adalah momentum yang tepat untuk melakukan penempatan modal di BMI atau dengan berbagai regulasi dan skema yang tidak bertetangan dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Baca: Muamalat Raih Penghargaan ‘Best Islamic Bank 2016’ di Indonesia dari IFN
Tentu ada term and conditions, agar BMI lebih mengedepankan pembiayaan kepada umat Islam, Perusahaan milik Muslim serta Ormas Islam.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Beberapa solusi yang bisa kami tawarkan adalah sebagai berikut :
- Umat Islam melalui skema sebagaimana dilakukan oleh KS212, melakukan penghimpunan dana, dan selanjutnya dana yang terhimpun di KS212,dibelikan saham di BMI.
- Ormas Islam dan Pengusaha Muslim, secara mandiri maupun bersama-sama melalui MUI atau melalui Badan Usaha (Amal Usaha) yang dimiliki oleh Ormas, dan bisa juga melalui Perusahaan Investasi yang dimiliki pebngusaha muslim, dari dana yang dihimpun tadi, membeli saham BMI
- BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) dan LAZ (Lembaga Amil Zakat) Nasional, menerbitkan program wakaf tunai (wakaf uang/melalui uang), untuk menghimpun dana, dan selanjutnya konversi sebagai saham BMI
- Dana BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji), diinvestasikan untuk membeli saham BMI, dengan melihat potensi yang ada lebih dari Rp. 80T dana haji yang terkumpul, maka jika 10% (Rp. 8T) dibelikan saham BMI, maka BPKH akan menjadi pemegang saham pengendali.
- Dilakukan merger dengan Bank Syariah milik BUMN (baik dengan BUS maupun UUS), sehingga menjadi Bank Syariah terbesar di Indonesaia, tidak hanya di Buku 3, tetapi langsung melonjak ke-buku 4.
Tentu saja, kelima solusi ini memerlukan effort yang besar, dan tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak realistis. Perlu kajian yang komprehensip, baik dari sisi syar’i (fiqh) maupun pendekatan bisnisnya.
Namun jika tidak kita mulai dari sekarang dan ada ada upaya yang serius ke-arah sini, maka bisa jadi salah satu aset umat Islam, berupa Bank Syariah ini, akan lepas dan hilang dari pelukan umat Islam. Dan kemudian menjadi bank yang bungkusnya adalah Bank Syariah, tetapi praktek, content, pemilik dan pelakukanya, jauh dari nilai-nilai ke-Islaman itu sendiri.
Kita tidak lagi bisa terus-menerus berteriak-teriak dipinggiran, sambil mengarahkan telunjuk kita ke BMI (atau BS lainnya), lalu dengan serampangan dengan mudah kita menguliti kekurangannya. Dengan enteng bilang bahwa BMI dalam ancaman kungkungan aseng dan asing, tanpa memberikan solusi. Maka kini saatnya, kita ambil bagian (meminjam istilah Pak Heppy Trenggono) untuk ‘Bela sekaligus Beli Bank Muamalat Indonesia’. Semoga Allah memudahkan. Wallahu a’lam.*
Ketua Bidang Perekonomian DPP Hidayatullah