Hidayatullah.com–Para ulama Syi’ah menginginkan Islam diakui sebagai pedoman dasar dalam konstitusi baru di Iraq. Setidaknya, konstitusi harus menjamin aturan legal bagi persoalan-persoalan pribadi seperti pernikahan, dan harta waris sebagaimana diatur dalam sistem Syariah. Tetapi, Amerika, yang sejak awal berambisi mengatur Iraq, menganggap pandangan arah konstitusi baru Iraq itu sebagai sebuah kemunduran. Karena itu, ulama-ulama Syi’ah meminta agar AS tidak ikut campur dalam soal konstitusi baru Iraq.
“Konstitusi merupakan dokumen paling berbahaya di negeri ini dan dokumen terpenting yang akan menentukan masa depan negara ini. Itu harus ditulis dengan sangat hati-hati,” ungkap Alaaden Muhammad al-Hakim, putra sekaligus juru bicara Ayatullah Muhammad Said al-Hakim, salah satu ulama Syi’ah paling senior di Iraq.
Syarat Kosntitusi
Di lain pihak, para pemimpin ulama Sunni, yang sejak awal tak begitu mendukung Pemilu Iraq menuntut syarat penting dalam penentuan konstitusi baru di negeri itu. Mereka mendesak agar jadwal penarikan pasukan asing pascapemilu segera dibuat, sebagai syarat kesediaan membahas konstitusi baru.
Komunitas muslim Sunni memang memberikan sinyal positif terhadap ajakan pemerintah Iraq untuk berpartisipasi dalam penyusunan konstitusi baru pascapemilu parlemen. Namun, mereka mengajukan syarat yang lumayan berat, yakni meminta kepastian waktu penarikan pasukan asing dari bumi Iraq. “Kami bilang kepadanya (Qazi) bahwa kami punya syarat dan kami akan membahasnya dengan partai-partai yang memboikot pemilu dan akan mengajukan sikap bersama,” terang Jubir Komite Pelajar Muslim Omar Ragheb, menyusul pembicaraan dengan utusan khusus PBB Ashraf Qazi, Sabtu kemarin.
Banyak pengamat yakin bahwa konstitusi yang akan disusun majelis nasional hasil pemilu 30 Januari lalu akan dihormati secara luas jika elite Arab Sunni yang mendominasi pemerintahan sebelumnya dilibatkan dalam proses tersebut.
Sementara itu, di Najaf, dua ulama senior Syi’ah di Iraq meminta agar Islam dijadikan satu-satunya sumber hukum dalam konstitusi baru negara itu. “Seluruh ulama dan Marja (empat ulama tertinggi) dan sebagian besar rakyat Iraq ingin majelis nasional menjadikan Islam sebagai sumber perundang-undangan dalam konstitusi tetap dan menolak hukum apa pun yang berlawanan dengan Islam,” terang Ibrahim Ibrahimi, perwakilan Ayatullah Mohammad Ishaq Al-Fayad, dalam statemennya kemarin.
Sumber dekat Ayatullah Ali Al-Sistani, pemimpin spiritual Syi’ah Iraq, juga mengatakan bahwa Sistani menginginkan Islam menjadi sumber hukum dalam konstitusi yang akan disusun 275 anggota majelis nasional. Meski mayoritas rakyat Iraq baik dari kalangan Syi’ah atau Sunni menerima konstitusi berdasarkan Islam, benyak pengamat menilai, Amerika tak akan membiarkan rencana itu berjalan mulus. (ap/afp/rtr/kp/jp/)