Hidayatullah.com–Tidak hanya membandingkan Salafi dengan gerakan Al Ikhwan yang lebih siap dalam menghadapi revolusi Mesir, Khalid As Syafi’i, salah satu dai Salafi Mesir juga melakukan otokritik terhadap pandangan para tokoh di komunitasnya.
Mungkin saja ada yang mengkritik, kenapa kritikan harus dipublikasikan di media massa? Tidak dengan memberi nasihat kepada para tokoh komunitas ini dengan diam-diam?
Khalid As Syafi’i menyatakan,”Mohon maaf, sebagian dari mereka (para tokoh) tidak memungkinkan untuk ditemui, sebagian telah saya temui namun tidak memberi jawaban, atau menjawab namun tidak optimis. Kedua, masalah ini membutuhkan partisipasi bagi semua komunitas Salafi, untuk mengetahui seluruh “penyakit”, dan bersama-sama melakukan langkah-langkah perbaikan.
Penulis mengeluhkan mengenai perselisihan yang terjadi dalam komunitasnya. Ada dua kelompok, pertama yang dekat dengan media, yang lain jauh dari dari publikasi.
Adanya perselisihan dua kelompok ini disebabkan karena sedikitnya pengetahuan syari’at dari sebagian mereka, tidak memahami maqasid syari’ah atau tidak mampu penerapan hukum fiqih untuk permasalahan yang tergolong sebagai nawazil (perkara krusial) serta kelemahan dalam pertimbangan maslahat dan madharat. Selain hal itu, kesadaran akan pentingnya ilmu selain ilmu syar’i dan kelemahan dalam pengetahuan umum, menjadikan para tokoh lemban dalam merespon apa yang sedang terjadi.
Saling Menghormati
Kemudian sang dai langsung menyentuh pendangan mengenai masalah kaluar dari hakim (panguasa), seperti hukum demonstrasi.
Ia mengkritik para dai Salafi yang menjadikan masalah ini sebagai masalah ijma’ (kesepakatan), padahal dalam realitanya terjadi perbedaan pendapat. Demikian pula masalah syarat bolehnya keluar dari hakim dan bentuk penentangan terhadap pemerintah yang dilarang, mestinya hal ini mendorong untuk dialog. Lebih-lebih untuk para penguasa dhalim, fasiq zindiq dan yang memerangi Islam.
Menurutnya, kalau tidak menerima pendapat lainnya, minimal menghormatinya. ”Hal ini lebih dekat dengan ruh syari’ah dan maslahat para hamba serta maqasid as syari’ah.”
Perbedaan pendapat dalam masalah demonstrasi layak dihargai, karena di sana ada pembahasan amar ma’ruf nahi munkar, perintah berkata haq terhadap penguasa dhalim, ada juga pembahasan mengenai pencegahan terhadap kedhaliman. Apalagi akad yang mendasari hubungan antara rakyat dengan penguasa adalah undang-undang, sedangkan undang-undang sendiri tidak menilai demonstrasi sebagai bentuk keluar dari hakim, dan pemerintah sendiri tidak menilai bahwa demonstrasi merupakan bentuk keluar dari hakim.
Mengharap Salafi Tidak Hanya Bisa Berceramah
Yang dikritik juga oleh Khalid As Syafi’i adalah tidak ada sinergi komunitasnya dengan masyarakat dan media massa dalam hal-hal yang diperbolehkan syari’at.
“Tidak ada kesatuan sikap, juru bicara tunggal, badan yang satu dan tidak pula ada sikap bersama!”
Hal lain yang tidak luput dari kritikan sang dai adalah tidak adanya program dari Salafi yang benar-benar mempersembahkan peradaban kepada masyarakat. Bukan hanya pembicaraan umum yang emosional, yang biasanya digunakan untuk khutbah Jumat. “Seandainya mereka mengatakan kepada kita saat ini,’kami menginginkan tokoh kalian untuk masuk dalam Komite Penyusun Undang-Undang, yang disyaratkan, disamping menguasai fiqih dengan baik juga menguasa undang-undang secara total,’ apakah kita memiliki?”
Harap Salafi Toleransi dalam Masalah Ikhitilaf
Selanjutnya, otokritik Khalid As Syafi’i berkenaan dengan akhlak dan adab dalam menyikapi perbedaan, “Yang paling buruk dari yang kita perbuat adalah, kita telah melakukan pemboikotan secara meluas, kita berperang untuk hal-hal yang sebetulnya ada yang lebih penting dari hal-hal tersebut, sedangkan perbedaan di dalamnya diperbolehkan. Dan sesungguhnya kita manusia yang paling sempit dada terhadap mereka yang menyelisihi, bahkan termasuk orang yang paling tidak paham tabiat siapa yang menyelisihi kita, padahal pada hakikatnya kita tidak berselisih dengannya. Dan kita adalah manusia yang paling berburuk sangka terhadap siapa yang menyelisihi kita, dan meremehkan mereka.”
Hal yang penting, yang ingin disampaikan sang dai, bahwa dirinya marah bukan karena ada pihak-pihak dalam komunitasnya yang menolak revolusi, karena hal itu perlu dihormati. “Sesungguhnya kemarahan datang karena ada yang menjadikan bahwa pendapat tersebut adalah satu-satunya kebenaran.”
Padahal menurut Khalid As Syafi’i banyak tokoh Salafi dan para pemudanya yang ikut terang-terangan mendukung penentangan dan ikut melakukan perubahan, dalam revolusi beberapa waktu lalu di Mesir.
Sebagai penutup tulisannya yang berjudul “At Tsaurah Al Misriyah wa At Tayar As Salafi…Azmah Ghiyab At Tajdid” (Revolusi Mesir dan Pemikiran Salafi…Krisis Hilangnya Pembaharuan) ini, Khalid As Syafi’i mengharap agar para tokoh Salafi bersatu, sebagaimana yang nampak pada orang-orang liberal dan sekuler. Ia berharap para tokoh Salafi juga bisa melakukan kerja sama dengan para pemuda dan masyarakat, serta gerakan Islam lainnya. *