Hidayatullah.com–Jilbab dan baju lengan panjang senantiasa menutupi tubuhnya yang kecil. Usianya sudah memasuki masa uzur. Raut wajahnya sudah tampak sangat tua. Sekilas dia hanyalah sosok perempuan tua biasa seperti kebanyakan perempuan tua lainnya. Sesekali bahkan dia menyebut dirinya hanya seorang nenek tua biasa. Bahkan petugas di bandara pun seringkali menduga perempuan tua ini adalah Tenaga Kerja Wanita (TKW).
Tapi siapa yang menyangka, dibalik penampilannya itu semua ternyata dia bukanlah perempuan tua biasa. Ia adalah perempuan tua dengan semangat muda. Itulah Pipiet Senja, begitu penggiat satra religius di Tanah Air sering memanggilnya.
Selama empat hari kunjungannya di Malaysia, ia menebar ilmu menulis kepada ratusan pelajar, ibu rumah tangga, dan tenaga kerja wanita (TKW) yang bekerja di negeri Petronas tersebut.
Degan mengusung tema, “Katakan Cinta, Dengan Aksara” seminar kepenulisan yang diadakan di KBRI tiga hari lalu, Sabtu 9 april 2011, dihadiri oleh ratusan peserta, baik dari kalangan mahasiswa, ibu rumah tangga, para siswa SIK juga sebagian di antaranya adalah para tenaga kerja, baik TKI maupun TKW.
Diskusi penulisan yang dilaksanakan oleh FLP Malaysia, bekerja sama dengan KBRI dan SIK (Sekolah Indonesia Kuala Lumpur) berjalan sangat meriah. Acara menampilkan pembicaran Novelis Pipiet Senja, dan dimoderatori oleh Alwi Alatas, penasehat FLP Malaysia dan juga penulis rubrik sejarah di hidayatullah.com ini.
Dalam paparannya, Pipet ‘memberi’ bocoran tentang bagaimana memulai dan menjadi penulis. Ia menghadiahi para WNI yang hadir itu dengan istilah “3M”.
“Apa saja yang mesti dipersiapkan oleh kita untuk menjadi seorang penulis? Jawabannya sederhana saja. Mulailah dengan 3 M! Menulis, menulis, dan menulis!,” cetusnya.
Menurut wanita kelahiran Sumedang 54 tahun silam ini, selain itu, obsesi adalah modal penting yang harus dimiliki jika ingin menjadi penulis. Potensi menjadi penulis ada dalam setiap manusia, tidak peduli seseorang itu apakah mahasiswa, pekerja, pembantu rumah tangga, ibu rumah tangga, tukang becak, atau bahkan pengangguran sekalipun. Dia mencontohkan, para tenaga kerja wanita Indonesia di Hongkong yang telah berhasil menerbitkan karya tulis dalam bentuk kumpulan puisi, cerpen, novel, bahkan naskah skenario.
“Inilah awal mula atau modal yang paling utama untuk menjadi penulis, yaitu dorongan dari dalam. Usahalah dari yang njelimet-njelimet dulu. Menulislah dari hal yang sederhana di sekitar kita. Kalau yang di Hongkong saja bisa, kenapa yang di Malaysia tidak bisa. Menulis, menulis dan menulis. Biarlah ketika menulis itu, mengalir, mengalir, dan mengalir!” ujar Pipiet menyemangati para peserta.
Diskusi juga disemarakkan oleh penampilan grup angklung yang dimainkan pelajar SMA Sekolah Indonesia Kuala Lumpur (SIK)
Sehari sebelumnya, Pipiet berjumpa dengan ratusan pelajar SMP dan SMA di Sekolah Indonesia Kuala Lumpur (SIK). Dalam acara itu, antusiasme pelajar SIK juga tidak kalah hebatnya dengan acara serupa yang digelar di KBRI.
Novelis muslimah bernama asli Etty Hadiwati Arief ini sudah menulis sejak masih duduk di bangku SMA. Hingga kini, tidak kurang dari 103 karya tulisnya telah diterbitkan dalam bentuk cerpen, novel, ataupun buku anak-anak.
Kondisi kesehatannya yang menurun sejak kecil tidak menghalangi obsesi besar dalam dirinya untuk berkarya dan memberi manfaat bagi orang lain. Penasehat Forum lingkar Pena (FLP) Pusat ini harus ditransfusi darah secara berkala seumur hidupnya karena penyakit kelainan darah bawaan.*/Ramadhan, Malaysia