Afghanistan berada di bawah sanksi AS dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ketika Taliban kembali berkuasa. Membuat rakyat Afghanistan harus bergulat dengan kelaparan.
Hidayatullah.com—Hiruk pikuk kota Kabul saat warganya terburu-buru dengan urusan mereka menjelang senja seperti dunia tak kasat mata bagi sekelompok wanita berburka biru dan pria tua yang duduk diam di depan toko roti di pinggir jalan.
Tidak sulit untuk menebak bahwa masing-masing hanyut dalam pikiran mereka sendiri sambil menunggu apakah seseorang bersedia memberi mereka beberapa potong roti pipih Afghanistan atau naan-e-Afghani, untuk makanan pribadi dan keluarga.
Tidak ada yang aneh dengan skenario itu karena sudah lama orang miskin di kota Kabul menunggu di depan toko roti. Baru-baru ini jumlah mereka meningkat, menunjukkan krisis kemanusiaan di Afghanistan telah memburuk.
Senja semakin larut. Karina, 35, yang sudah lama menunggu di depan toko roti, bergegas bangun ketika ada seorang wanita datang membeli roti. Namun, tidak ada rezeki baginya ketika wanita itu meninggalkanya begitu saja.
Tidak menyerah, ibu tunggal dari enam anak itu mengatakan kepada Bernama bahwa dia mulai menunggu orang-orang di depan toko roti, pekerjaan yang ia lakoni sejak Taliban mengambil alih pemerintah. “Kadang saya mendapat tiga atau empat potong roti. Pernah saya dapat lima potong,” ujarnya seraya menambahkan bahwa suaminya meninggal karena penyalahgunaan narkoba.
Karina ditemani oleh putranya yang berusia enam tahun. Putrinya yang berusia 15 tahun berada di rumah merawat empat saudara kandung lainnya dengan yang bungsu baru berusia satu setengah tahun.
Menurut wanita itu, dia tidak menerima bantuan apa pun. Ditanya apakah jumlah roti yang diterima setiap hari cukup untuk keluarganya, Karina menjawab cukup atau tidak, itulah rezeki mereka.
“Sebelum Taliban berkuasa, jumlah pengemis hanya empat atau lima sehari. Sekarang 25 hingga 30 orang datang ke toko saya, ”kata Shafiqullah, operator toko roti di 10th Street, melalui bantuan seorang penerjemah.
Seperti kebanyakan orang Afghanistan, pria itu juga hanya menggunakan satu nama. Menurut Syafiqullah, bisnisnya juga terkena imbas buruk sejak Taliban mengambil alih pemerintah pada Agustus tahun lalu menyusul penarikan Amerika Serikat (AS) dan runtuhnya pemerintahan Ashraf Ghani.
Ia mengatakan, jika sebelumnya ia mampu menjual hingga 1.600 potong roti sehari dengan harga AF10 (S$0,14) per potong, kini ia beruntung bisa menjual 900 potong.
Syafiqullah tidak sendiri. Rata-rata operator bakery yang terdapat di kota Kabul juga menghadapi situasi yang sama. Semakin banyak orang tidak mampu membeli makanan pokok karena kehilangan pekerjaan dan tidak dibayar. Ketika AS meninggalkan Afghanistan, bantuan keuangan juga berhenti. Afghanistan berada di bawah sanksi AS dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ketika Taliban kembali berkuasa.
Selain itu, harga bahan baku juga mengalami kenaikan berkali-kali lipat, tertinggi dalam 10 tahun dan terlihat terus meningkat. Masalah tersebut diperparah dengan kekeringan dan gangguan rantai pasok akibat penularan COVID-19. Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) melaporkan Afghanistan membutuhkan sekitar enam juta ton gandum per tahun tetapi pasokan yang tiba di negara itu tidak mencukupi.
“Masalah pandemi, korupsi (pada pemerintahan sebelumnya), kekeringan. Lalu, pergantian pemerintahan – semua ini terkait,” jelas Dr Muhammad Amin, seorang perantara yang membantu menghubungkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) Malaysia dan Afghanistan.
Masalah kekurangan pangan dan kelaparan di Afghanistan menjadi lebih akut setelah invasi Rusia ke Ukraina, yang juga mengakibatkan dunia memboikot Rusia. Kedua negara memasok total 29 persen ekspor gandum dunia. Data menunjukkan 95 persen dari sekitar 39 juta orang Afghanistan kekurangan gizi sementara 8,5 juta lainnya hampir kelaparan.
Terlepas dari kesulitan hidup di Afghanistan, sikap peduli di antara rakyatnya tidak pudar. Seorang pria terlihat membeli lusinan roti dan membagikannya kepada sekelompok wanita serta warga senior yang menunggu di depan toko roti, sebelum menyerahkan sisanya kepada anak-anak yang mengelilinginya.
Setelah membagikan roti, dia tidak pergi tetapi kembali ke toko roti untuk membeli lebih banyak roti untuk diberikan kepada anak-anak. Seorang karyawan toko roti di 11th Street, Naser, 46, mengatakan kepada Bernama bahwa tidak ada yang aneh dengan apa yang dilakukan pria itu karena dia adalah seorang pembuat roti.
Bantuan Kemanusiaan
Afghanistan pada Ahad (6 Maret) menerima US$32 juta dalam bentuk bantuan kemanusiaan, lapor kantor berita Xinhua. “Menyusul rangkaian bantuan kemanusiaan ke Afghanistan, paket 17 bantuan kemanusiaan senilai US$32 juta telah tiba di Afghanistan dan disalurkan ke International Bank of Afghanistan,” kata Da Afghanistan Bank (DAB) dalam keterangan tertulisnya pada Senin.
DAB mengapresiasi bantuan kemanusiaan dari dunia internasional dan berharap dapat lebih banyak lagi kerjasama yang dapat dilakukan. Menyusul pengambilalihan Afghanistan oleh Taliban pada pertengahan Agustus 2021, Amerika Serikat membekukan lebih dari US$9 miliar (S$12 miliar) aset milik bank sentral Afghanistan.*