Hidayatullah.com–Pada masa Orde Baru, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sering diidentifikasikan sebagai “rubber stamp” perpanjangan pemerintah. Keberpihakannya terhadap umat hanya dirasakan 10 tahun pertama sejak didirikan tahun 1975, terutama ketika di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Hamka. Namun saat ini tidaklah demikian.
“Sejak era reformasi 1998, Majelis Ulama Indonesia mulai menata kembali posisinya sebagai lembaga indefenden yang memainkan peranan utamanya sebagai Khodimul Ummah (pelayan umat), bukan Khodimul Hukumah (suruhan pemerintah),” demikian pernyataan KH. Muhyiddin Juenadi, MA. di acara Tarhib Ramadhan 1432, Pengajian dan Silaturrahim yang diadakan oleh Bidang Dakwah dan Tarjih Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM), Malaysia di Aula Hasanudin KBRI Kuala Lumpur, baru-baru ini.
Dua hari sebelumnya, utusan MUI Pusat tersebut juga ditunjuk sebagai panelis di acara seminar yang digelar oleh Lembaga Pusat Zakat Melaka, Malaysia yang bertema: “Zakat Sebagai Potongan Cukai” di Melaka.
Dalam ceramahnya, Muhyiddin menjelaskan perkembangan terbaru tentang pengelolaan zakat di tanah air kepada masyarakat Islam Indonesia di Kuala Lumpur.
Di antara isu yang menjadi pembahasan adalah berkaitan dengan usulan zakat sebagai pengurang pajak dan pembahasan yang menyinggung masalah munculnya lembaga-lembaga amil zakat yang didirikan oleh beberapa partai politik.
Menurutnya, pengelolaan zakat di tanah air masih memerlukan kerja keras yang intensif dan massif sehingga lembaga-lembaga zakat seperti Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) dapat berfungsi secara lebih baik dan maksimal.
“Di era Orde Baru Suharto, pegawai pemerintah diwajibkan membayar zakatnya dengan cara pemotongan 2,5 % dari gaji pokok dan dikelola oleh Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila. Kebijakan ini ternyata masih sarat kepentingan politik, pasalnya dana yang terhimpun tidak diaudit secara objektif, akibatnya penyalahgunaan dana zakat sering terjadi,” ungkapnya.
Menurutnya, lembaga pengelola zakat berdasarkan Undang-undang RI No. 38 tahun 1999 terdiri dari dua lembaga pengelola zakat, yaitu Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan Badan Amil Zakat (BAZ).
BAZ dikelola oleh pemerintah, sedangkan LAZ dikelola oleh masyarakat. Di mana terdapat 67 ormas Islam yang bergabung bersama MUI dengan jumlah anggotanya sekitar 140 juta orang. Setiap ormas mengelola LAZ yang secara langsung menerima zakat, infaq dan sodakoh dari anggota dan simpatisannya.
Lebih lanjut, Ketua Bidang Urusan Kerja Sama dan Hubungan Internasional MUI dan PP Muhammadiyah itu menegaskan, dana zakat umat Islam pertahun bisa mencapai angka 70 triliyun rupiah. Angka yang cukup besar ini akan tercapai sekiranya tingkat kesadaran masyarakat untuk membayar zakat cukup tinggi, ada reformasi undang-undang zakat yang signifikan, adanya kerja sama dan dukungan pemerintah dan sistem pengelolaan zakat yang amanah, jujur dan profesional.
Sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan visi dan misi di atas, maka MUI mengusulkan zakat sebagai pengurang pajak kepada pemerintah. Sebab, dengan memberlakukan zakat sebagai pengurang pajak tentunya akan mendorong peningkatan pemasukan dana zakat dan pajak secara bersamaan.
“Cetak biru yang terukur dan terencana mampu menciptakan pengelolaan zakat yang transfaran, bersih dan fungsional serta distribusi dana zakat yang merata dan tepat sasaran kepada para mustahiq (yang berhak menerima zakat) sehingga bisa berpengaruh untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, membuka lapangan kerja dan mendorong tumbuhnya sistem ekonomi keumatan yang berlandaskan keadilan, kebersamaan dan kemandirian.” Katanya.*/Imron Baehaqi, Malaysia