Hidayatullah.com–Pemerintah Belanda akhirnya sercara resmi meminta maaf terhadap para janda para korban dalam pembantaian di Rawa Gede, 64 tahun lalu.
Pemerintah Indonesia mengatakan lebih dari 430 penduduk laki-laki di Desa Rawagede, Jawa Barat dibatnai oleh tentara Belanda dalam pembantaian massal tahun 1947.
Namun menurut Pemerintah Belanda, jumlah yang ditembak hanya 150 orang.
Terlepas dari perbedaan jumlah korban, Pemerintah Belanda setuju meminta maaf kepada keluarga korban.
“Dalam hal ini saya minta maaf atas nama pemerintah Belanda bagi tragedi yang berlangsung di Rawagede 9 Desember 1947,” kata Duta Besar Tjeerd de Zwaan dikutip RNW.
“Tidak pernah terlambat kalau mau minta maaf,” kata pengacara Liesbeth Zegveld. Tapi bagi beberapa janda momentum ini terlambat sudah. Saih, misalnya. Ialah satu-satu korban selamat pembantaian 1947, ketika tentara Belanda mengeksekusi semua warga pria Rawagede, baik anak-anak maupun dewasa.
Saih selamat karena pura-pura mati, sementara tubuhnya berlumuran darah orang lain. Dia tampak tegar bahkan masih bisa terbang ke Belanda untuk mengikuti proses gugatan tahun lalu.
Tiba-tiba dia meninggal karena serangan jantung enam bulan lalu. Ia dikuburkan di belakang rumahnya. Saih tidak pernah mendengar permintaan maaf dan tidak menerima santunan. Karena siapa yang mati, dicoret dari daftar penerima santunan.
Putusan hakim, beberapa bulan lalu, mewajibkan pemerintah Belanda hanya membayar kompensasi kepada para janda dan korban yang selamat. Bukan kepada keluarga atau anak-anak.
“Saya rasa pemerintah Belanda senang dengan putusan hakim. Enam sanak saudara korban adalah kelompok yang tidak banyak,” kata Zegveld, “tapi saya tidak mau menggunakan istilah ‘murah’. Kurang cocok untuk konteks ini. Sudah bagus pemerintah menuntaskan kasus Rawagede secepat ini, dan tidak naik banding atau mulai macam-macam prosedur lain, tapi langsung membayar santunan itu. Tidak ada yang menyangka ini akan terjadi. Sehari sebelum vonis pengadilan saya bilang kami punya kans satu persen.”
Walau demikian ada pihak yang tidak puas. Batara Hutagalung, Shalat satu warga Indonesia yang menggelindingkan kasus Rawagede, mengatakan Belanda masih belum resmi menerima 17 Agustus 1945 sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia.
Sembilan janda korban yang masih hidup juga masing-masing akan mendapatkan 20.000 Euro sebagai kompensasi.
Pejuang Hak Asasi Manusia dan pengacara Prof Liesbeth Zegveld, yang mengangkat kasus janda Rawagede ini mengatakan, keputusan ini adalah sebuah terobosan.
“Belum pernah terjadi sebelumnya, baik di Belanda maupun di tempat lain,” ujarnya diutip media Australia.
Disebutkan bahwa pasukan Belanda bertanggung jawab atas pembunuhan ribuan orang di pembantaian-pembantaian lainnya. Menurut Professor Zegveld, kasus ini menjadi preseden untuk mengungkap pembantaian lainnya.*