Hidayatullah.com—Komunis China dapat mengajarkan Inggris banyak soal kebahagiaan sebab masyarakat negara itu lebih “setara”, demikian menurut Uskup Agung York Dr John Sentamu.
Dilansir The Telegraph Selasa (8/1/2013), Sentamu mengatakan, persoalan seperti tunawisma menunjukkan bahwa sudah saatnya untuk “mengkaji kembali nilai-nilai yang menjadi dasar masyarakat kita.”
Menurut pemuka agama Kristen Anglikan itu, sangat jelas kelihatan bahwa masyarakat Inggris “tidak bahagia.” Dan negara-negara yang “lebih adil” seperti Jepang, China dan Belanda juga memiliki lebih banyak penduduk yang bahagia.
Hal itu dikatakan oleh Sentamu dalam pidatonya saat mengunjungi kantor Salvation Army di York, dalam rangka peluncuran program menanggulangi tunawisma yang banyak ditemukan tidur di sembarang tempat di kota itu. Salvation Army adalah organisasi Kristen yang bergerak di bidang bantuan kemanusiaan.
Kesehatan sebuah mayarakat menurut Sentamu, dapat dilihat dari seberapa besar penduduk setempat peduli dengan orang yang kurang beruntung.
“Masyarakat yang lebih setara juga terbukti sebagai masyarakat yang lebih bahagia,” kata Sentamu, mengutip isi buku “The Spirit Level” karya Prof Richard Wilkinson dan Prof Kate Pickett.
“Berapa banyak di antara anda yang ingin bahagia?” tanyanya kepada hadirin.
“Anda perlu menjadi masyarakat yang lebih adil jika ingin bahagia. Saat ini, Inggris tidak bahagia,” kata Sentamu.
“Jika anda melihat angka global, China adalah yang paling bahagia, kemudian Jepang dan Netherland, sebab mereka adalah masyarakat yang setara.”
“Sebagai contoh saat terjadi tsunami, di Jepang tidak terjadi penjarahan, sebab penduduk di sana melihat properti yang ada sebagai milik mereka sendiri,” kata Sentamu.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Menurutnya kriis finansial yang melanda Inggris telah secara menakutkan mengubah masyarakat.
“Tunawisma merupakan masalah yang memaksa kita untuk mempertimbangkan ulang nilai-nilai yang dengannya kita membangun masyarakat,” imbuhnya.
“Hal itu menuntut visi sosial yang baru secara menyeluruh, menumbuhkan kembali manfaat baik dari solidaritas,” kata Sentamu.*