Hidayatullah.com–Syeikh Ahmad Tayib, pemimpin Universitas Al-Azhar Mesir, menyatakan bahwa revolusi Arab Spring (Musim Semi Arab) yang tersebar di dunia Arab tahun 2011 dalam upaya untuk mengakhiri dekade-dekade kediktatoran adalah konspirasi yang diinisiasi oleh Barat untuk menjajah kembali Timur Tengah dan Afrika Utara.
“Revolusi Arab Spring telah memberikan beberapa keuntungan bagi sebagian negara Arab. Namun, beberapa revolusi ini adalah bagian dari konspirasi yang lebih besar untuk memecah belah negara-negara lainnya,” kata At-Tayib dalam program Al-Hayat Al-Yaum pada hari Ahad, dikutip World Bulletin Selasa, (13/05/2014) dari al Akhram.
“Barat telah menciptakan teori-teori yang salah untuk bisa mengontrol kekayaan Timur, dengan mengabaikan fakta bahwa ilmu pengetahuan harus memberikan manfaat yang saling menguntungkan bagi manusia,” tambah At-Tayib dalam wawancara televisi pertamanya sejak kudeta milter 3 Juli yang menggulingkan presiden terpilih Muhamad Mursy.
“Hingga sekarang, Barat belum bisa bertemu dengan Timur, dimana jurang pemisah yang lebar terus menerus semakin lebar, meskipun demikian para ulama Al-Azhar telah memprediksi kemungkinan bertemunya Tiimur dan Barat sejak Renaisans,” katanya.
Arab Spring telah mereformasi beberapa hal kecil dalam pemerintahan Aljazair yang kini masih tetap eksis, namun sementara itu dampak Arab Spring di negara-negara Arab lainnya jauh berbeda.
Di Tunisia, di mana revolusi ini pertama kali terjadi, mantan diktator Zain al Abidin Bin Ali yang melarikan diri dari protes massa telah melapangkan jalan bagi munculnya Partai Islam An-Nahda. Namun, protes massa terhadap An-Nahda memaksa partai yang berkuasa untuk membuat sejumlah konsesi untuk menghindari perang saudara.
Demikian juga dengan Mesir dimana rakyatnya telah berhasil mengusir diktator Husni Mubarak dari tampuk pemerintahan. Melalui Pemilu bebas pertama di negara itu tampuk pemerintahan dipegang oleh Muhamad Mursy dari Ikhwanul Muslimin. Setahun kemudian, Panglima Tertinggi Abdul-Fattah al-Sisi mendepak Mursy dari kursi kekuasaannya melalui kudeta militer.
Sejak itu, pendemo anti-kudeta marah di seluruh negeri dan ratusan aktivis anti-kudeta telah dipenjara dan dihukum mati. Mereka dianggap bersalah karena melakukan tindak kekerasan melawan pihak berwenang.
Mantan pemimpin Libya, Muammar Qadhafy tewas setelah ditangkap oleh massa. Namun, pihak berwenang Libya yang baru telah gagal mengendalikan bentrokan milisi. Begitu juga Yaman, pemerintah yang baru di negara itu telah berusaha keras mengekang tumbuhnya militansi dan separatisme.
Rakyat Suriah yang tidak mampu mengenyahkan Bashar al-Assad dari kekuasaan setelah perang saudara tiga tahun telah membawa negara itu kepada kehancuran.*