Hidayatullah.com–Kaum Muslim keturunan China di Malaysia mengaku masih mengalami diskriminasi lantaran pemerintah meminta mereka mengganti nama dengan nama Arab atau Melayu ketika memeluk agama Islam.
Di Masjid Negeri China Malaka, saya bertemu dengan dua mualaf yang baru pertama menjalankan puasa Ramadan tahun ini, yakni Muhamad Thaufiq Loi Fui Liang dan Ting Swee Keong.
Meski keduanya keturunan China, ada perbedaan dalam soal pemilihan nama setelah menjadi mualaf.
Muhamad Thaufiq menambah nama Arab di depan nama aslinya, sedangkan Ting tidak.
“Semua harus diubah. Nama menjadi lain, namun muka masih sama. Di sini orang Malaysia mengatakan jika seseorang masuk Islam disebut masuk Melayu. Kalau saya tak ganti nama, saya tetap China,” jelas Ting dikutip BBC.
Muhamad Thaufiq Loi Fui Liang memutuskan untuk menambah nama Arab di depan nama aslinya.
Meski tak ada aturan tertulis, pergantian nama seseorang yang menjadi mualaf dengan nama Arab atau Melayu merupakan tradisi yang telah berlangsung sejak Malaysia merdeka pada 1957 lalu.
Lim Jooi Soon, Presiden Asosiasi Muslim China Malaysia, MACMA Malaka, mengatakan tradisi pergantian nama bagi mualaf ini masih dipraktikkan oleh sejumlah petugas di kantor Majelis Agama di sejumlah negara bagian di Malaysia karena ketidakpahaman mereka.
“Mereka mempraktikkan itu karena tidak memahami. Padahal, kalau kita ikut sunnah Nabi pada jaman Nabi Muhamad SAW, ketika kaum lain masuk Islam, dia tidak meminta orang itu mengganti nama kecuali artinya buruk,” kata Lim.
Dia kemudian mencontohkan tokoh Islam dari Afrika, yakni Salman Al Farisi dan Bilal Bin Rabah.
“Sebelum mereka memeluk Islam dan sesudah mereka masuk Islam, nama mereka sama. Kenapa? Karena memudahkan mereka berdakwah di hadapan bangsa yang sama,” jelas Lim.
Hambatan etnis China masuk Islam
Lim merupakan orang etnis China pertama yang tidak mengubah namanya ataupun nama bapak ketika memeluk Islam.
Dia mengaku membutuhkan waktu lima tahun untuk berjuang agar tidak mengganti namanya setelah pindah menjadi Muslim.
“Lima tahun untuk berbincang, berdebat, membahas, lalu tunjukan bukti-bukti yang kuat untuk kekalkan nama China. Selepas itu banyak orang mudah untuk memeluk agama Islam,” jelas Lim.
Meski tak ada aturan tertulis, pergantian nama seseorang yang menjadi mualaf dengan nama Arab atau Melayu merupakan tradisi yang telah berlangsung sejak Malaysia merdeka pada 1957 lalu.
Kekukuhan kaum etnis China untuk mempertahankan nama, menurut Lim , berkaitan erat dengan kehormatan keluarga.
“Kalau dia buang nama keluarga, seolah-olah tidak ada hubungan dengan keluarganya. Nama kedua saya ini menunjukkan nama generasi keberapa dan nama terakhir saya itu nama saya sendiri yang berarti menuju kejayaan,” ujar Lim.
Masalah nama ini, menurut Lim, selama ini merupakan hambatan utama bagi etnis China Malaysia untuk masuk Islam.
“Saya tak bisa ganti etnis. Saya lahir China ya matipun China, tak akan ganti jadi etnis Melayu. Saya tak berganti nama untuk menunjukkan bahwa Islam itu agama universal untuk semua bangsa tak cuma untuk Arab atau Melayu saja,” tambah Lim.
Selain mengganti nama pribadi, orang keturunan China yang ingin masuk Islam harus mengganti nama bapak menjadi Abdullah, meski tak ada peraturan tertulis.
Presiden MACMA Malaysia Taufiq Yap Yun Hin mengatakan telah mendesak agar praktik pergantian nama bapak bagi mualaf ini dihapuskan.
“Tidak ada sahabat nabi yang menggunakan bin Abdullah. Abdullah itu kan artinya hamba Allah. Saya juga telah meminta kepada pihak yang terkait dengan pendaftaran agama ini agar praktik ini diubah dan etnis China masih dapat pertahankan nama pribadi dan nama bapak jika memeluk agama Islam,” jelas Taufiq.
Nur Caren Chung Yock Lin mengatakan sejumlah tradisi China tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Pertahankan Budaya China
Orang etnis China yang memeluk Islam di Malaysia juga harus meninggalkan budaya mereka.
Taufiq mengatakan gaya pakaian dan tradisi China lainnya masih dapat dipertahankan selama tidak bertentangan dengan Islam.
Salah seorang Muslim China, Nur Caren Chung Yock Lin, mengatakan penyebaran Islam seringkali dilakukan dengan menggunakan pendekatan budaya setempat sehingga budaya asal seseorang tidak hilang.
“Perayaan budaya ini tak bertentangan dengan syariat Islam, perayaan kue bulan, kue chang, sambutan tahun baru China juga budaya bukan perayaan keagamaan. Kalau dilihat dari sejarah ketika Ibnu Waqas berdakwah di China dia diterima dengan mudah karena Islam tak membunuh budaya, yang bertukar itu tauhid bukan budaya,” jelas dia.
Caren mengatakan pemahaman ini yang kemudian terus disosialisasikan agar etnis China yang berpindah agama tidak meninggalkan budaya mereka.*