Oleh: Imam Nawawi
SEBAGAIAN Muslim Indonesia yang pernah berkunjung, studi ataupun menetap di Barat (Eropa, Amerika dan Australia) cenderung kagum dan membanggakan negeri-negeri tersebut.
Kebersihannya, ketertiban, hingga kedisiplinan seringkali menjadi tolak ukur keberhasilan Barat. Bahkan ada yang berpendapat bahwa Barat lebih Islami dari negeri-negeri berpenduduk Islam.
Sebagian lagi, tidak cukup bangga dan takjub (baca terkecoh) dengan penampilan fisik kota-kota di Barat, ada yang mengagumi pemikiran para pemikir Barat secara membabi buta. Sampai-sampai mereka lupa bahwa ulama dan pemikir Muslim jauh lebih unggul dari para pemikir Barat. Akibatnya pun jelas, ulama dihujat dan pemikir Barat selalu menjadi kiblat.
Dalam kasus Al-Qur’an misalnya, mereka yang berpikir seperti orientalis menilai bahwa tafsir ulama terdahulu sudah tidak relevan dengan kebutuhan zaman sekarang. Oleh karena itu diperlukan tafsir baru untuk mendekatkan Al-Qur’an dengan kebutuhan zaman. Hermeneutika pun menjadi pijakan mereka dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Ada sebuah pemahaman yang mengkristal menjadi keyakinan bahwa Barat maju karena mengedpankan rasionya. Dan, kalau Islam ingin maju, maka mesti mengikuti cara Barat dalam membangun kemajuannya. Akan tetapi, pikiran-pikiran seperti itu tidak lebih dari cara berpikir anak-anak yang melihat Barat secara tidak utuh, tidak kritis dan tentu saja tidak objektif.
Kebiadaban Barat
Sebagai bangsa Indonesia, kita tidak akan pernah lupa dan tidak boleh lupa bahwa bangsa ini sungguh sangat luar biasa peran dan kontribusinya bagi dunia, terkhususnya Belanda. Meskipun konteksnya kita terjajah. Namun, di saat yang sama, keterjajahan negeri ini adalah kontribusi Indonesia untuk keselamatan bangsa Belanda. Dengan mengambil kekayaan alam Indonesia, negeri cekung yang semestinya tenggelam itu berhasil diselamatkan, hingga hari ini.
“Kekayaan Indonesialah yang sebenarnya ‘mengapungkan’ Holland. Beratus tahun lamanya kekayaan alam Indonesia telah di boyong ke Negara Kincir Angin dan dijadikan ‘gabus alam,’ sehingga negeri yang cekung itu tidak tenggelam ke dasar samudra,” demikian tulis seorang pengisi rubrik Sela di Majalah Swa H.B. Supiyo di edisi XXXI/18-29 Juni 2015.
Belanda tak semata mampu membangun bendungan sepanjang 30 Km dari Provinsi Friesland ke Provinsi Holland Utara, tetapi juga surplus dari sisi pasokan pangan dengan diterapkannya politik tanam paksa. Dengan kata lain, 3,5 abad mereka ‘meminta’ makan ke Indonesia tidak saja membuat mereka bisa makan enak, tetapi juga bisa membangun negaranya dengan lebih baik.
Dan, sebagaimana jamak dipahami, penjajahan itu tidak mengenal nilai-nilai perikemanusiaan dan perikeadilan. Artinya, kemajuan Barat, atau spesifik dalam hal ini adalah Belanda merupakan hasil dari kerja kotor – kalau tidak dikatakan kejam dan beringas – dalam mengeksploitasi negeri jajahannya.
Tetapi, itu dulu, wilayah sejarah yang mungkin tidak banyak dipahami generasi muda masa kini. Lantas bagaimana dengan masa kini?
Opini Hikmahanto Juwana yang berjudul “Penghalauan Kapal dengan Uang” di Kompas edisi 23 Juni 3015 membuka fakta kebiadaban Barat, dalam hal ini adalah Australia. Pakar hukum internasional itu mencatat bahwa kebiadaban Australia, terutama dalam hal para pencari suaka telah terjadi berulang kali.
Pertama, munculnya berita tentang dugaan pemberian uang sebesar 5.000 dollar Amerika Serikat kepada nahkoda dan awak kapal warga Indonesia yang membawa pencari suaka dengan target kapal yan gmenuju Australia berbalik arah ke Indonesia.
Kedua, “Pada Januari 2014 kapal perang Angkatan Laut Australia saat menghalau kapal pencari suaka, memasuki wilayah kedaulatan Indonesia. Ini jelas merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan Indonesia. Insiden ini selesai dengan permintaan maaf Panglima Angkatan Perang Australia kepada Panglima TNI,” tulis Hikmahanto.
Ketiga, “Selanjutnya, pada Februari 2014 diduga dua kali Australia memasukkan para pencari suaka ke kapal sekoci berwarna oranye tanpa registrasi dan tanda kebangsaan. Sekoci ini kemudian didorong ke wilayah Indonesia.”
Kemudian, Hikmahanto pun menyimpulkan bahwa kebijakan menghalau para pencari suaka adalah pelanggaran HAM yang tidak bisa didiamkan. Berarti, tindakan Australia telah menyelisihi prinsip peri kemanusiaan, yang justru dijunjung tinggi dalam slogan HAM.
Fakta ini mestinya menjadi perhatian penting dan serius bangsa Indonesia. Bahwa kemajuan dari sisi teknologi, militer, ekonomi dan lain sebagainya sebenarnya tidak menjamin sebuah bangsa atau negara itu benar-benar maju, beradab atau berperikemanusiaan.
Dua fakta ini hanyalah sekelumit dari masa kelam Barat yang telah menciptakan lahirnya negara-negara berkembang yang sesungguhnya sampai kini masih terus dieksploitasi tanpa nurani. Wallahu a’lam.*
Penulis pembina Komunitas Muda – Depok