Hidayatullah.com—Setelah 28 orang dibunuh di Turkistan Timur selama bulan Ramadhan ini, para aktor, akademisi dan politisi di Turki ramai-ramai bersuara mengecam pemerintah China dan menyeru agar diberikan kebebasan terhadap penduduk di Daerah Otonom Xinjiang.
Menurut laporan majalah Aktuel hari Kamis lalu yang dikutip Today’s Zaman (28/6/2015), pembunuhan di Turkistan Timur itu terjadi setelah sebuah mobil tidak berhenti di sebuah pos pemeriksaan di kawasan tersebut. Dua anggota Kepolisian China dikabarkan membuntuti kendaraan itu dan kemudian menikam para penumpang di dalamnya. Anggota polisi lain yang datang menyusul, lalu menembaki “para tersangka” yang kelihatan di lokasi tersebut. Sebanyak 28 orang tewas akibat serangan brutal aparat China itu.
Di Ankara, organisasi pemuda afiliasi Partai Gerakan Nasionalis (MHP), Ulku Ocaklari, menyelenggarakan shalat ghaib bagi para korban pembunuhan oleh aparat China itu. Shalat digelar di Masjid Mustafa Asim Koksai di Kecioren.
Dalam kesempatan itu, Olcay Kilavuz, ketua dari Ulku Ocaklari, menyampaikan pernyataan pers yang menyebutkan bahwa bendera merah Turki setara dengan bendera biru Turkistan Timur (bendera keduanya mirip hanya berbeda warna, red).
Kilavuz mengatakan anggota-anggota Ulku Ocaklari akan melanjutkan perjuangan guna membantu saudara-saudara mereka di Turkistan Timur, hingga titik darah penghabisan.
Associate professor Savaz Egilmez dari jurusan sejarah di Universitas Ataturk di Erzurum bergabung dengan para akademisi lain mengritik keras pemerintah China yang saat ini melarang warga Uighur di Turkistan Timur melakukan puasa Ramadhan, lapor kantor berita Anadolu.
“Kita harus melakukan segala upaya yang kita mampu untuk menghentikan penindasan ini,” kata Egilmez.
Sementara itu aktor Turki, Sahan Gokbakar, menyebarkan gambar lewat media sosial yang menunjukkan bendera Turkistan Timur dengan cipratan darah berbentuk bendera Republik Rakyat China. Dalam akunnya di Instagram dia menulis, “Kebebasan bagi Turkistan Timur.”
Beberapa tahun belakangan, ratusan orang telah terbunuh dalam kekerasan di Xinjiang yang memicu perlakuan lebih keras lagi oleh aparat pemerintah terhadap warga Muslim di kawasan itu. Kelompok-kelompok orang Uighur di pengasingan mengatakan kebijakan represif China telah memicu kekerasan di wilayah mayoritas Muslim tersebut. Namun, hal itu dibantah Beijing. Pemerintah China menuding kekerasan yang terjadi di wilayah Uighur itu dipicu oleh aksi terorisme oleh kelompok-kelompok Muslim dan menuding warga Turkistan Timur ingin mendirikan negara sendiri, memberontak dan memisahkan diri dari China.
Pemerintah China sedang berusaha melakukan rekayasa demografi dengan memasukkan orang-orang etnis Han (suku mayoritas di China) ke wilayah Xinjiang yang sejak ratusan tahun lalu merupakan wilayah tempat tinggal mayoritas Muslim. China ingin kawasan yang kaya dengan sumber minyak dan mineral itu tidak lagi didominasi warga Muslim. Bentrokan antara warga etnis Han dan non-Muslim dengan penduduk Muslim sering terjadi.*