Hidayatullah.com–Anda pasti ingat dengan foto ratusan orang di Jerman mengangkat poster “Refugee, Welcome” tinggi-tinggi di stasiun kereta Munich. Seorang wartawan Aljazeera bahkan menangkap momen seorang wanita Jerman memberikan boneka Teletubbies kepada seorang anak imigran, dan di sebelahnya, seorang penyambut lain mengulurkan sebungkus cokelat kepada anak yang sama.
Mengapa Jerman sangat menerima para pengungsi yang didominasi pengungsi dari Suriah tersebut, sementara sebagian negara lainnya, seperti Hongaria, memperlakukan pengungsi dengan amat kasar? Mari kita lihat kasusnya satu persatu.
Jerman: Nazi dan Kekurangan Orang
Adolf Hitler dan Nazi adalah salah satu orang dan organisasi paling dibenci di dunia untuk alasan yang jelas. Berkat Hitler dan partainya itu, Eropa porak poranda. Sebagian besar orang di Jerman melarikan diri dari tanah kelahirannya demi mencari tempat yang lebih baik. Jerman menjadi sebuah negara yang amat jahat di mata dunia selama masa Perang Dunia. Jerman kini masih menyimpan luka dan rasa malu tersebut. Begitu malunya, hingga Kanselir Angela Merkel merasa perlu meminta maaf atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan pendahulunya di pemerintahan tersebut.
Jerman tahu bagaimana rasanya terusir dari kampung halaman. Jerman juga tahu bagaimana rasanya jika perang pecah di halaman rumah. Atas persamaan tersebut, mereka menerima para pengungsi yang datang membanjiri Eropa dengan tangan terbuka.
Tapi itu tidak menjadi satu-satunya alasan mereka menerima orang-orang yang menjadi calon warga negara mereka itu. Jerman kekurangan penduduk. Diprediksi pada 2060, penduduk Jerman hanya sekitar 68 hingga 73 juta jiwa. Ini penurunan drastis dari jumlah penduduk Jerman kini yang berada di angka 81 juta jiwa.
Sekarang saja, ratusan posisi di perusahaan-perusahaan di Jerman terpaksa dibiarkan kosong karena tidak ada pekerja muda yang pantas menempatinya, atau bahkan melamar pekerjaan tersebut.
Seorang petinggi Daimler, perusahaan mobil Jerman, Dieter Zetsche, mengungkapkan pandangan positifnya dengan kedatangan ratusan imigran.
“Kebanyakan pengungsi adalah orang-orang muda terdidik dan sangat termotivasi untuk bekerja. Orang seperti itulah yang kami cari,” ujarnya dikutip laman Washingtonpost.com.
Memang kebanyakan Muslim di Eropa berusia muda, dan angka rata-rata tersebut akan bertambah muda dengan kedatangan gelombang pengungsi dari Suriah yang membawa anak-anak mereka.
Sebuah website bahkan telah dilincurkan di Jerman untuk menjembatani mereka yang membutuhkan pekerja baru, dan mereka yang baru datang dan butuh pekerjaan.
Swedia: Karena Kami Baik, Tapi….
Meski tidak mengalami kekurangan penduduk, Swedia tetap menerima para pengungsi dengan tangan terbuka. Telah bertahun-tahun Swedia terkenal sebagai tempat yang dengan mudah menerima para imigran, yang menjelaskan cepatnya rekasi mereka saat gelombang pengungsi mulai berdatangan. Swedia juga dengan mudah menerbitkan izin bekerja bagi mereka yang mencari suaka.
Namun itu semua bagai sebuah jebakan. Pemerintah Swedia seperti berujar “Oh, silahkan datang ke tanah kami. Silahkan tinggal di tanah kami. Tapi sayangnya tidak ada tanah bagimu untuk digarap.”
Kebanyakan pekerjaan di Jerman adalah pekerjaan teknis yang tidak membutuhkan pendidikan tinggi atau skill tertentu karena para pekerja dapat mempelajarinya begitu diterima.
Sementara di Swedia, kebanyakan pekerjaan jangka panjang tidak terjangkau bagi para pengungsi karena membutuhkan gelar dari universitas di Eropa dan kefasihan berbahasa Swedia. Hampir separuh dari mereka yang lahir bukan di Swedia dan berusia produktif kini menganggur.
Inggris: Sudah Cukup, Terima Kasih
Meski tidak menolak kedatangan para pengungsi, Inggris sebenarnya setengah hati menerima mereka. Menurut Komisi Eropa, jika pada 2060 Jerman bakal mengalami penurunan populasi, Inggris malah mengalami hal sebaliknya. Diprediksi, mereka akan menjadi negara dengan populasi terbanyak di Eropa pada tahun yang sama, berkat banyaknya imigran dan angka kesuburan yang lebih tinggi dari negara tetangganya.
Meski begitu, Perdana Menteri David Cameron kini berfokus pada program yang mengurus transmigrasi bagi 20.000 orang pengungsi, terutama mereka yang lemah. Ada yang menyebut tindakan Inggris lebih bermoral daripada Jerman yang memandang pengungsi sebagai aset ekonomi.
Namun pernyataan tersebut dipandang sinis oleh Inggris. Jika Inggris mengharapkan 20.000 orang tersebut dapat dipindahkan pada 5 tahun kemudian, jumlah orang yang sama disambut dan diberi pekerjaan oleh Jerman tahun ini.*/Tika Af’idah