Hidayatullah.com—Tim penuntut di Pengadilan Kejahatan Internasional di Den Haag mendakwa mantan komandan pemberontak bernama Dominic Ongwen memerintahkan anak buahnya agar membunuh, memasak dan memakan daging warga sipil.
Ongwen, merupakan anggota pertama dari kelompok teroris Kristen Lord’s Resistance Army (Tentara Perlawanan Tuhan) yang diseret ke International Criminal Court (ICC).
Hari Kamis (21/1/2016) Ongwen dijerat 70 dakwaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, lapor BBC.
Dia diperkirakan akan menggunakan taktik pembelaan dengan mengungkap kisah sedihnya sebagai tentara anak dan korban penculikan, agar mendapatkan keringanan hukuman dari pengadilan.
Menurut tim penuntut, Ongwen menggunakan siswi-siswi sekolah sebagai budak seks, menjaring anak-anak untuk dijadikan tentara dan sedikitnya satu kali memerintahkan anak buahnya membunuh, memasak dan memakan daging warga sipil.
Dalam kesempatan persidangan itu ditunjukkan pula rekaman video yang menampakkan makam-makam dangkal dari korban serangan pemberontak bersenjata Kristen LRA.
Persidangan yang menghadirkan Ongwen sebagai terdakwa itu juga disiarkan di Lukodi, kota di utara Uganda, salah satu tempat di mana Ongwen dan pasukannya melakukan serangan brutal dan mematikan. Wartawan BBC Catherine Byaruhanga mengatakan banyak orang di Lukodi yang menonton persidangan itu.
Dalam dakwaannya tim penuntut memfokuskan pada serangan-serangan yang dilakukan atas 4 kamp penampungan bagi warga sipil yang kehilangan rumah akibat aksi kekerasan LRA.
Ongwen, yang dilahirkan pada tahun 1975, menyerahkan diri pada bulan Januari 2015. Ketika berusia 10 tahun Ongwen pernah diculik oleh LRA dan tumbuh dewasa menjadi salah satu komandan kelompok teroris Kristen itu. Dia diyakini pernah menjadi deputi komandan tertinggi LRA Joseph Kony, yang sekarang masih buron.
Para pengacaranya sepertinya akan menggunakan trauma masa mudanya itu sebagai upaya mendapatkan keringanan hukuman, lapor wartawan BBC Anna Holligan dari Den Haag.
Tampil dalam persidangan perdana dengan setelan jas berwarna abu-abu, kemeja lila dan dasi abu-abu, Ongwen berdiri membacakan pernyataan bahwa persidangan atas dirinya itu hanya “membuang waktu sia-sia.”
Dalam lima hari ke depan tim penuntut dan pembela memiliki kesempatan untuk mengutarakan argumen masing-masing.
Majelis hakim kemudian memiliki waktu 60 hari guna memutuskan apakah terdapat cukup bukti untuk meneruskan proses hukum Ongwen di pengadilan yang berada di bawah naungan Perseringatan Bangsa-Bangsa itu.
Lord’s Resistance Army adalah kelompok pemberontak bersenjata yang memiliki ideologi Kristen dicampur kepercayaan tradisional setempat. Aktif sejak 1987, kelompok teroris ini beroperasi di Uganda, Sudan Selatan, Central African Republic (CAR) serta Democratic Republic of the Congo (DRC bekas koloni Belgia, tidak sama dengan Republic of the Congo bekas koloni Prancis, red). Tujuan besar LRA yang dulu memakai nama Uganda Christian Army/Movement (Tentara/Gerakan Kristen Uganda) adalah mendirikan negara yang berdasarkan pada Ten Commandments (10 perintah Tuhan pondasi ajaran Kristen) serta nasionalisme.
LRA tercatat sebagai kelompok teroris dalam daftar hitam susunan pemerintah Amerika Serikat.*