Hidayatullah.com—Pemerintah Warsawa menolak masuk sekelompok orang Chechnya yang berusaha memasuki wilayahnya dari Belarusia. Hal itu demi melindungi negara dan Uni Eropa dari terorisme, begitu menurut Mendagri Polandia.
Dilansir Deutsche Welle, Menteri Dalam Negeri Mariusz Blaszczak hari Rabu (31/8/2016) mengatakan Polandia menolak masuk 200 orang Chechnya yang berusaha masuk dari Brest, Belaruia, negara yang menjadi batas terluar Uni Eropa. Berbicara kepada stasiun televisi Polandia TVN24, Blaszczak mengatakan “hal ini untuk memastikan keamanan Eropa.”
Blaszczak mengatakan selama dirinya menjabat menteri dalam negeri dan partai konservatif PiS berkuasa, “kami tidak akan membiarkan Polandia terancam terorisme,” tanpa menjelaskan lebih lanjut mengatapa dia menghubungkan orang Chechnya dengan terorisme.
Polandia sebelumnya telah menolak kebijakan Uni Eropa yang membagi beban penampungan ratusan ribu pengungsi asal Suriah, Timur Tengah dan Afrika.
Hari Senin malam lalu, sekelompok orang Chechnya yang berkemah di Brest memprotes larangan masuk ke Polandia dan menuntut agar diberi kesempatan berbicara dengan pihak berwenang negara itu, lapor Belsat TV.
Di antara kelompok orang Chechnya berkewarganegaraan Rusia itu terdapat anak-anak, perempuan dan manula. Mereka berhasil mencapai sebuah pos perbatasan di Brest pada 29 Agustus, lalu berkemah di sana karena dilarang memasuki wilayah Polandia.
Dariusz Sienicki, seorang juru bicara dari Penjaga Perbatasan Polandia setempat, hari Rabu kemarin mengatakan kepada Associated Press bahwa kelompok orang-orang Chechnya itu telah kembali ke Belarusia.
Polandia sebelumnya bersedia menerima pengungsi orang-orang Chechnya saat negara pecahan Uni Soviet itu berperang dengan Rusia yang berakhir pada 2009.
Sienicki mengatakan 6.000 warganegara Rusia, kebanyakan dari etnis Chechnya (Chechen), telah ditampung di Polandia sejauh ini selama tahun 2016. Jumlah itu naik 150 persen dari periode yang sama tahun lalu. Dan pada saat yang sama, sekitar 30.000 orang telah ditolak masuk.
Nama Chechnya belakangan kembali terdengar di tengah-tengah berita terorisme dan konflik di Timur Tengah seiring dengan menyebarnya horor yang ditimbulkan kelompok bersenjata ISIS alias ISIL alias Daesh. Kementerian Luar Negeri Rusia tahun 2015 pernah mengeluarkan pernyataan bahwa lebih dari 400 orang Chechnya ikut berperang bersama ISIS. Banyak orang dari Eropa Timur pecahan Soviet yang berbondong-bondong ke Suriah dan Iraq untuk bergabung dengan kelompok-kelompok bersenjata di sana, baik dari kalangan Muslim Sunni maupun Syiah.
Salah seorang Chechnya yang paling terkenal adalah Abu Omar Al-Shishani. Pria Chechnya yang dilahirkan dengan nama Tarkhan Tayumurazovich Batirashvili itu berangkat dari Pansiki Gorge di Georgia (negara pecahan Soviet) ke Suriah untuk bergabung dengan pasukan oposisi yang berperang melawan rezim Bashar Al-Assad. Dalam perkembangannya, pria bekas anggota militer Georgia itu –yang mendapat pelatihan dari Amerika Serikat saat berperang dengan Rusia– kemudian menjadi salah satu komadan ternama ISIS. Maret 2016 Al-Shishani diyakini tewas dalam serangan udara koalisi pimpinan AS di Al-Shirqat, Gubernuran Saladin di Iraq. ISIS kerap mengklaim serangan-serangan mematikan yang terjadi di sejumlah negara Eropa tahun belakangan ini.*