Sambungan artikel PERTAMA
MESIR berulang-ulang dengan regulasi terhadap ergot, jamur gandum, mengklaim itu menyebabkan kanker. Ergot juga dapat menyebabkan halusinasi jika dikonsumsi dalam jumlah besar tetapi dianggap tidak berbahaya dalam jumlah sedikit. Pada awal tahun ini, Organisasi Pangan dan Agrikultur (FAO) melakukan penilaian resiko dan menemukan bahwa ergot bukanlah ancaman bagi pertanian Mesir. Kementrian Agrikultur, meskipun begitu, membentuk sebuah komite untuk menginvestigasi resiko-resiko dan temuannya menunjukkan bahwa gandum harus diambil dari wilayah-wilayah di mana pengiriman sebelumnya tidak mengandung ergot, seperti Rusia, Ukraina, Latvia dan Lithuania.
Dengan kisaran 11,5 juta ton setiap tahunnya, Mesir saat in merupakan pengimpor gandum terbesar di dunia, dan gandum tetaplah sebuah masalah hidup dan mati di mana puluhan juta orang bergantung pada sistem subsidi penting pemerintah. Merubah jangka pembelian bahkan berarti harga makan yang lebih tinggi, jauh dari klaim pemerintah yang sedang mencoba membuat makanan lebih terjangkau.
Ketersediaan roti murah merupakan hal yang penting bagi kehidupan pemerintah Mesir dan permintaan akan roti merupakan yel-yel yang disorakkan ketika revolusi Mesir di tahun 2011. Pada tahun 1977, meningkatnya harga roti memaksa pemerintah menurunkan tank-tank ke jalan untuk memadamkan kerusuhan yang terjadi setelahnya.
‘Roti, kebebasan, dan keadilan sosial’
Tiga permintaan itu lah, “roti, kebebasan dan keadilan sosial,” yang timbul untuk meruntuhkan pemerintahan Mubarak di Mesir, ketika ribuan orang turun ke jalan pada 2011 memintanya turun dan agar tiga kebutuhan dasar itu dipenuhi. Lima tahun setelahnya, kebebasan dan keadilan sosial dengan cepat terkikis, dan harga-harga melonjak.

Dalam sebuah video mengejutkan, yang diambil oleh saksi mata dengan kamera telepon, seorang supir taksi – yang belum diketahui namanya – membakar diri di depan pusat militer di Aleksandria, setelah dilaporkan meneriakkan kritik terhadap pemerintahan presiden Sisi dan memprotes tingginya harga dan kondisi kehidupan yang buruk.
Ketika artikel ini ditulis ia masih dalam perawatan medis karena 95 persen tubuhnya terbakar. Dalam aksinya, supir taksi putus asa itu meniru pedagang jalanan Tunisia yang enam tahun lalu juga membakar dirinya, membantu memicu apa yang nantinya disebut dengan Arab Spring.
“Situasi ekonomi telah memburuk selama beberapa waktu, tetapi semakin intensif pada tingkat yang beberapa orang di populasi harapkan. Akan segera mencapai puncaknya, sementara pemerintah diperkirakan mencabut lebih banyak subsidi – sesuatu agaknya tidak terelakkan – dan mengurangi nilai pound Mesir,” jelas Dr H A Hellyer, anggota senior non residen di Dewan Atlantik dan Institut Pelayanan Persatuan Kerajaan di London.
“Semua itu sepertinya akan menyebabkan inflasi dan peningkatan harga – sayangnya, hampir tidak terelakkan, tetapi hal itu akan sangat berpengaruh pada bagian yang lebih rentan dari masyarakat,” tambah Dr Hellyer.
Dengan situasi ekonomi negara yang memburuk, makin banyak orang yang menyuarakan kekhawatiran mereka, dengan munculnya sejumlah video di media sosial, rakyat Mesir secara terbuka menyatakan kekecewaan dan keputusasaan mereka atas kondisi kehidupan.
Respon pemerintah hanya menawarkan janji-janji kosong, menyarankan rakyat untuk “mengencangkan sabuk mereka,” dan dalam kemungkinan langkah terkuat, meminta mereka untuk mendonasikan recehan mereka untuk Mesir.
Tumbuhnya perselisihan
“Kami memiliki harapan dalam beberapa rencana pemerintah – baik itu rencana untuk membangun ibukota baru atau kanal Suez atau lainnya – dan berharap bahwa hal itu dapat meningkatkan kualitas hidup, tetapi apa yang kami saksikan malah penurunan ekonomi yang cepat,” kata Bakar. “Segala sesuatunya semakin memburuk, pound Mesir tidak lagi bernilai, pemuda berbondong-bondong menjadi penganggura dan bahkan lebih banyak yang memilih untuk mempertaruhkan hidup mereka dengan bermigrasi secara ilegal. Mereka telah memilih beresiko mati atau dipenjara daripada tinggal dan menghadapi kematian pasti.”
Sementara keyakinan terhadap pemerintah semakin merosot, kegelisahan di jalanan semakin lebih nyata, dengan seruan “Revolusi Rakyat Miskin” yang akan dilakukan pada 11 November.
Meskipun tindakan keras yang akan dilakukan oleh pasukan keamanan, Solimon bersikukuh akan pergi.
“Saya bersama ‘Revolusi Rakyat Miskin’.” Untuk berapa lama lagi saya harus duduk dan menerima setengah kehidupan ini? Saya akan keluar, tetapi apakah kamu berpikir orang lain akan peduli? Akankah saya menemukan sesuatu yang sepadan, atau peluru yang akan bersarang di jantungku? Itu tidaklah masalah,” kata Bakar.
Dia menambahkan: “Orang-orang sedang berbicara. Khususnya pemuda, mereka menganggur, mereka telah lulus dengan gelar dan tidak mempunyai apapun untuk ditunjukkan, dan mereka sedang gelisah dan frustasi. Orang-orang putus asa.”
Di saat turunnya penindasan yang sebelumnya tidak pernah terjadi, pemikiran untuk turun ke jalan tampaknya merupakan hal yang berani. Sejak dikeluarkannya hukum demonstrasi, petugas keamanan akan segera membubarkannya, terkadang dengan brutal, setiap bentuk berkembangnya demonstrasi, dan hal itu sepertinya tidak akan menjadi pengulangan 25 Januari 2011 yang dapat menggulingkan Mubarak.
“Mesir tidak segera jatuh ke dalam semacam kekacauan sosial – situasi ekonomi dipertahankan dengan susah payah, tetapi rezim yang memimpin Mesir kuat, sementara tidak ada alternatif dari kepemimpinan saat ini yang memegang kekuatan besar di Mesir yang tertarik,” Hellyer menambahkan. “Apapun dapat terjadi di Mesir, dan 11 November hanya beberapa mingu lalu, jadi apapun dapat berubah, tetapi saya tidak melihat indikasi lain, setidaknya belum, 11 November akan lebih menjadi sebuah fenomena kecil setempat,” kutip Middle East Eye. */Nashirul Haq AR