Hidayatullah.com—Sekretari Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres meminta agar dunia “mendahulukan perdamaian”, dalam sambutan Tahun Baru hari Ahad (1/1/2017), menandai hari pertamanya resmi memimpin organisasi tersebut menggantikan sepuluh tahun kepemimpinan Ban Ki-moon.
“Bagaimana bisa kita menolong jutaan orang yang terjebak dalam konflik, mengalami penderitaan besar dalam peperangan yang tidak tampak ujung akhirnya?” kata Guterres, mantan perdana menteri Portugis.
“Warga sipil dihantam berulang kali dengan kekuatan mematikan. Perempuan, anak-anak dan lelaki dibunuh dan terluka, dipaksa meninggalkan rumah-rumah mereka, kehilangan harta bendanya dan menjadi sengsara. Tidak ada yang menang dalam peperangan ini; semua orang kalah.”
Sekjen PBB yang baru itu akan menghadapi segudang krisis di Suriah, Yaman, Sudan Selatan, dan banyak lainnya.
Meminta kepada dunia agar “berjuang untuk mengatasi perbedaan kita,” Guterres mengakhiri pesannya dengan sebuah catatan tentang tanggung jawab pribadi. “Semua yang kita perjuangkan sebagai sebuah keluarga umat manusia -kehormatan dan harapan, kemajuan dan kesejahteraan- tergantung pada perdamaian. Namun, perdamaian tergantung pada kita.”
Setelah berjuang membela hak-hak para pencari suaka selama sepuluh tahun sebagai Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi, pemilihan Guterres sebagai sekjen secara bulat memberikan angin segar kepada para diplomat di tengah meredupnya kepercayaan akan kemampuan organisasi dunia itu untuk membuat perubahan.
Dalam pidato usai pengucapan sumpahnya sebagai sekjen PBB awal Desember lalu Guterres, 64, mengakui bahwa dia menerima kepemimpinan itu di saat dunia sepertinya sudah kehilangan kepercayaan terhadap para pemimpin dan institusinya.
Guterres berjanji akan mereformasi cara kerja PBB. “Sudah waktunya bagi PBB untuk melakukan hal yang sama -mengakui kekurangannya dan mereformasi cara kerjanya … PBB harus bersedia melakukan perubahan,” ujarnya.
Sebagai sekretaris jenderal Guterres tidak hanya harus menghadapi tugas rutin, tetapi juga kemungkinan sikap keras dari pemerintahan Amerika Serikat pimpinan Donald Trump. Pengusaha yang terpilih sebagai presiden menggantikan Obama itu sudah terang-terangan menunjukkan dukungannya terhadap Israel, mengecam pemerintah Obama yang memilih abstain (tidak menggunakan hak veto) saat resolusi PBB yang menyeru agar pembangunan pemukiman ilegal Yahudi Israel dihentikan.
Dengan hak veto, kursi permanen di DK-PBB dan kontribusi terhadap sekitar 22 persen anggaran rutin PBB, sikap menentang pemerintahan AS yang baru bisa menjadi hambatan besar bagi pemimpin PBB yang baru.*