Hidayatullah.com–Parlemen Turki memulai perdebatan terkait draf konstitusi baru yang bertujuan memperluas kekuasaan presiden dan menghilangkan ‘kekuasan’ pada perdana menteri.
Konstitusi baru itu diharapkan disajikan dalam referendum pada bulan Maret atau April ini dan akan menggantikan undang-undang yang ada yang dilaksanakan pasca kudeta oleh pihak militer pada 1980.
Selain itu, rancangan tersebut akan meningkatkan sistem presiden pertama kalinya setelah zaman pemerintahan Kerajaan Ottoman (Khilafah Utsmaniyyah).
“Tidak ada lagi (posisi) Perdana Menteri. Kami tidak terpaku kekuasaan. Sepatutnya seorang saja menahkodai kapal dan bukannya dua orang, “kata Perdana Menteri, Binali Yildrim dalam satu pidato terbarunya di parlemen disambut tepuk tangan oleh anggota parlemen sebagaimana dikutip AFP.
Para kritikus dan kalangan oposisi menuduh, langkah itu merupakan bagian rencana Erdogan mendapat kekuasaan penuh menyusul upaya kudeta yang terjadi pada Juli 2016 lalu.
Namun, Erdogan dan anggota Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) menegaskan sistem presiden baru itu akan membawa Turki sejalan dengan negara-negara lain selain bakal memudahkan urusan administrasi di pemerintah.
Sebagaimana diketahui, Turki menganut sistem pemerintahan republik demokrasi sekuler parlementer, di mana perdana menteri memegang kuasa atas pemerintahan, sedangkan presiden hanya mengemban peran seremonial.
Partai Erdogan sejak lama mengusulkan untuk mengubah sistem pemerintahan menjadi presidensial seperti di Amerika Serikat (AS), Prancis, Filipina atau Indonesia.
Selama ini, lawan politik Presiden Recep Tayyip Erdogan dan beberapa sekutu Barat yang skeptis khawatir sistem politik semacam itu akan menciptakan kepemimpinan otoriter jika diterapkan di Turki.
Partai AKP yang sekarang berkuasa telah mengajukan argumen, bahwa kepemimpinan yang kuat akan mendorong tercapainya kesejahteraan. AKP yang didirikan Erdogan mendorong diadakannya perubahan konstitusi menjadi sistem presidial sejak beberapa tahun lalu, saat Erdogan masih menjadi perdana menteri.
Oktober lalu Turki memulai Turki kemungkinan menggelar referendum perubahan undang-undang dasar dan pemberlakuan sistem presidensial sebelum musim semi.
Sistem presidensial merupakan sistem pemerintahan negara republik di mana kekuasaan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasan legislatif. Presiden memiliki posisi relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan karena rendah subjektif seperti rendahnya dukungan politik. Namun masih ada mekanisme untuk mengontrol presiden.
Jika usulan ini diterima, konstitusi baru Turki akan menghapuskan jabatan Perdana Menteri dan memberi jalan kepada posisi baru yang yaitu Wakil Presiden.
Sementara itu, Ketua Parlemen Turki Ismail Kahraman berharap konstitusi baru Turki seharusnya memiliki konstitusi yang religius.
“Sebagai negara Muslim, kenapa kita ada dalam situasi yang menjauh dari agama,” ujarnya seperti dikutip kantor berita Anatolia hari SeninSenin, di tengah kekhawatiran kelompok sekuler tentang gelombang Islaimisasi di Turki di bawah AKP.
“Kita adalah negara Muslim, sebagai konsekuensi kita harus memiliki konstitusi yang religius,” ujarnya.*