Hidayatullah.com—Sebuah sekolah di Wuppertal, bagian barat Jerman, mengeluarkan memo internal berisi permintaan kepada para guru agar melarang murid-muridnya yang Muslim melakukan shalat secara terang-terangan atau kelihatan orang.
“Beberapa pekan belakangan semakin bertambah siswa Muslim yang melakukan shalat di dalam gedung sekolah, jelas terlihat oleh orang lain, ditandai dengan ritual pembersihan di toilet (wudhu, red), menggelar karpet untuk berdoa (sajadah, red), dan melakukan gerakan-gerakan tertentu (shalat, red).”
“Hal ini tidak diperbolehkan,” bunyi nota itu seperti dikutip Deutsche Welle Kamis (2/3/2017).
Pesan internal itu ditujukan kepada para guru di Gymnasium Johannes Rau di Wuppertal, bagian barat Jerman, melarang siswa-siswa Muslim di sana melakukan shalat.
Sebagai bagian dari kebijakan itu, seperti diberitakan pertama kali oleh Der Western kemarin, para staf diminta untuk “menyebutkan nama-nama siswa” dan “melaporkannya” ke pihak manajemen jika ada kasus siswa Muslim melaksanakan peribadatan di sekolah itu.
Nota itu juga menegaskan bahwa siswa yang melaksanakan shalat tersebut harus dicatat sebagai murid yang “berperilaku tidak ramah.”
Tak lama setelah nota itu diungkap ke Facebook, warga Jerman ramai menyuarakan pendapat pro dan kontranya di media sosial.
“Mengapa mereka tidak boleh beribadat? Dan ini terjadi di negara serelijius Jerman, yang pada masa ini sudah semakin terbuka dan toleran?” kata seorang pengguna media sosial. “Bahkan sang penggembala kita terus menerus menyeru dengan ajaran-ajaran dari Bibel,” imbuhnya, rmerujuk penggembala sebagai Kanselir Angela Merkel, putri seorang pendeta dan politisi senior CDU, partai Kristen terbesar di Jerman,
Menyusul laporan Der Western hari Kamis, pihak manajemen sekolah tidak bisa dimintai komentar, tulis Deutsche Welle.
Mendukung keputusan pihak mahajemen sekolah, juru bicara dewan distrik setempat Dagmar Gross kepada Deutsche Welle mengatakan bahwa “larangan beribadah ‘secara provokatif’ di sekolah itu dimaksudkan untuk mempromosikan hidup berdampingan secara damai dan ketenangan di sekolah.”
Meskipun berpihak kepada manajemen sekolah, Gross mengatakan dewan pendidikan setempat saat ini sedang dalam pembicaraan dengan pihak pengelola sekolah dan hasilnya akan diinformasikan kemudian.
“Melalui diskusi dengan siswa-siswa yang beribadat secara terbuka, kepemimpinan sekolah sekarang akan mencari cara agar para murid bisa melaksanakan agama mereka tanpa orang lain merasa terganggu atau dikucilkan,” kata Gross kepada DW.
Lebih lanjut Gross menjelaskan bahwa secara hukum kepala sekolah di Jerman diperbolehkan mengimplementasikan larangan semacam itu. Pasal kelima dalam konstitusi tentang fungsi sekolah dan misi pendidikan memiliki kekuatan yang lebih dibanding Pasal 4 tentang hak untuk memiliki keyakinan relijius atau filosofis.
“Oleh karena itu, contohnya, siswi-siswi Muslim harus ikut serta dalam pelajaran berenang,” imbuh Gross.
Ini bukan pertama kalinya masalah shalat di sekolah Jerman menimbulkan kontroversi.
Tahun 2011, seorang pelajar Muslim di Berlin-Wedding mengajukan gugatan ke pengadilan, karena pihak sekolah melarangnya melakukan shalat secara terang-terangan pada hari Jumat. Pengadilan Administratif Jerman menolak gugatan itu, dengan alasan shalat yang dilakukannya mengganggu ketertiban dan ketenangan di sekolah.*