Hidayatullah.com–Turki membekukan hubungan dengan Pemerintah Belanda, menindaklanjuti krisis yang semakin meruncing antara kedua Negara tersebut.
Tindakan ini dilakukan Turki setelah Pemerintah Belanda melarang dua menteri Turki yang berencana mengadakan pertemuan guna menggalang suara kalangan ekspatriat Turki menjelang referendum Turki 16 April yang digagas Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Turki menegaskan tidak mengizinkan Duta Belanda ke Ankara untuk kembali hingga Belanda memenuhi syarat Turki untuk mengadakan pertemuan. Selain itu, menurut Turki, penerbangan diplomatik juga akan ditangguhkan.
Wakil Perdana Menteri Turki, Numan Kurtulmus mengatakan, Ankara mengaku marah terutama ketika pemerintah menghalangi pesawat Menteri Luar Negeri Turki mendarat dan mengusir keluarga menteri akhir pekan lalu.
Tempat tinggal Duta Besar, kuasa usaha dan Konsul Jenderal Belanda di Turki juga ditutup. Kementerian Luar Negeri dalam sebuah pernyataan menegaskan bahwa Ankara untuk sementara tidak menghendaki Duta Besar Belanda yang sedang cuti kembali ke Turki.
”Ini telah dijelaskan kepada rekan-rekan kami bahwa keputusan penutupan ini diambil sebagai perlawanan Turki dan masyarakat Turki di Belanda yang akan menyebabkan masalah diplomatik, politik, ekonomi dan yang lain secara serius,” bunyi pernyataan kementerian Luar Negeri Turki seperti dikutip Reuters, Ahad (12/3/2017).
Baca: Ribuan Kaum Perempuan Turki Pro Referendum Dukung Erdogan
Sebelumnya, dua menteri Turki, Menteri Urusan Keluarga Fatma Betul Sayan Kaya dan Menteri Luar Negeri Mevlut Cavusoglu semula dijadwalkan untuk menggalang dukungan dari kalangan warga Turki yang bermukim di Belanda guna mendukung referendum namun kehadirannya ditolak pihak Belanda. Rencana Turki ini juga dihalangi Jerman dan Austria dengan alasan faktor keamanan.
Sementara itu, beberapa pemimpin Uni Eropa (EU) dengan lantang mengkritik Turki di tengah-tengah ketegangan yang meningkat setelah Ankara mencoba mengadakan pertemuan di wilayah tersebut.
Sebelumnya, Presiden Recep Tayyip Erdogan menuduh Jerman dan Belanda bersikap ‘Nazisme’ setelah rencana pertemuan diblokir di kedua negara itu.
Menjawab ini, Perdana Menteri, Mark Rutte di Amsterdam menggambarkan tuduhan itu sebagai ‘tidak dapat diterima’ sementara Menteri Luar di Berlin berharap Turki akan kembali berpikir jernih tentang isu tersebut.
Baca: Usulan Konstitusi Baru Turki Hilangkan Jabatan Perdana Menteri
Erdogan juga sempat menyerukan lembaga-lembaga internasional untuk menjatuhkan sanksi kepada Belanda karena menolak dua menterinya.
Namun menurut pemerintah Belanda, kampanye-kampanye referendum Turki di dalam wilayah Belanda akan memicu ketegangan menjelang pemilihan umum Belanda pada Rabu (15/03/2017).
Menurut Perdana Menteri Belanda Mark Rutte Turki harus menghentikan kampanye kelilingnya karena dikhawatirkan dapat mengganggu keamanan dan ketertiban umum.
Larangan ini membuat warga Turki di Belanda marah dan melakukan unjuk rasa di depan konsulat Turki di Rotterdam. Fatma Betul Sayan Kaya yang berusaha menemui para pengunjuk rasa akhirnya dikawal oleh polisi Belanda menuju ke perbatasan Jerman.
Turki membalas perbuatan Belanda tersebut dengan ucapan yang cukup menohok. “Mereka sangat gugup dan pengecut. Mereka adalah sisa-sisa Nazi, mereka adalah kaum Fasis,” ucap Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, seperti dikutip Telegraph.
“Apa yang terjadi di Belanda mengabaikan diplomasi dan hukum internasional. Apakah Uni Eropa angkat bicara dalam masalah ini? Tidak. Kenapa? Karena mereka tidak saling melukai. Mereka sama,” tegas Erdogan hari Ahad (12/03/2017) dikutip BBC.
April ini Turki hendak menggelar referendum. Jumlah warga Turki yang bermukim di Belanda mencapai 400.000 orang, sedangkan jumlah pemilih Turki yang bermukim di Jerman mencapai 1,4 juta.
Sebelum ini, Belanda dan Turki memiliki hubungan cukup dekat dan hangat. Hubungan ini terjalin sejak 1612. Utusan Belanda Cornelis Haga bahkann terlebih dahulu mengunjungi Istanbul pada 1612, dan menandai dimulainya hubungan keduanya.*/MR Utama