Hidayatullah.com—Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengungkap informasi intelijen yang sangat rahasia kepada Menteri Luar Negeri Rusia tentang rencana serangan terhadap kelompok bersenjata ISIS/ISIL alias Daesh dalam pertemuan pekan lalu, kata dua pejabat AS yang mengetahui situasi itu hari Senin (15/5/2017).
Informasi intelijen itu, kata kedua pejabat tersebut, diberikan oleh salah satu negara sekutu Amerika Serikat yang ikut serta memerangi kelompok militan itu, lapor Reuters.
Namun, Gedung Putih mengatakan tuduhan itu salah. “Presiden hanya mendiskusikan ancaman sama yang dihadapi kedua negara,” kata wakil penasihat keamanan nasional Dina Powell.
Menanggapi berita itu, yang pertama kali dikabarkan oleh Washington Post, anggota senat nomor 2 Partai Demokrat Dick Durbin menyebut perilaku Trump itu “berbahaya” dan “sembrono.” Ketua Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS Bob Corker (Rep) menyebutnya “sangat-sangat bermasalah” jika kabar itu benar.
Salah satu dari dua pejabat yang mengungkap hal itu mengatakan intelijen yang diberikan Trump adalah rahasia tingkat tinggi yang disimpan dalam “peti” yang hanya segelintir pejabat intelijen dapat mengaksesnya.
Setelah Trump mengungkap rahasia itu, yang menurut salah satu pejabat dilakukan secara spontan, pejabat-pejabat Gedung Putih segera mengontak CIA dan National Security Agency (NSA), yang memiliki perjanjian kerja sama intelijen dengan negara-negara sekutu, dan menginformasikan kepada mereka apa yang terjadi.
Sementara presiden memiliki hak untuk mengungkap informasi yang paling rahasia sekalipun sesuai keinginannya, dalam kasus ini apa yang dilakukan Trump merupakan bentuk penghinaan terhadap negara sekutu AS yang memberikannya. Hal ini tentu mengancam apa yang mereka sebut sebagai kesepakatan pembagian informasi intelijen jangka panjang, kata pejabat-pejabat AS itu.
Menurut laporan Washington Post Trump membagikan informasi itu kepada Menlu Rusia Sergei Lavrov dan Dubes Rusia Sergei Kislyak.
“Presiden dan menlu itu mengkaji ancaman sama sari organisasi-organisasi teroris termasuk ancaman terhadap penerbangan,” kata HR McMaster, seorang penasihat keamanan yang berpartisipasi dalam pertemuan itu. Menurutnya informasi yang diberikan adalah apa yang sudah diketahui publik, tidak ada sumber informasi, metode maupun operasi militer yang diungkapkan.
Menlu AS Rex Tillerson mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa Trump dan Lavrov mendiskusikan banyak hal, “termasuk di antaranya adalah upaya dan ancaman bersama terkait kontraterorisme.”
Dalam pertemuan di Gedung Oval dengan Lavrov dan Kislyak, Presiden Trump keluar dari naskah dan mulai memaparkan perihal ancaman dari ISIS terkait penggunaan laptop di pesawat, kata pejabat-pejabat AS kepada Washington Post.
Dalam pembicaraan dengan pejabat-pejabat Rusia itu, Trump menggembar-gemborkan pengetahuannya soal bahaya-bahaya yang mengancam, mengatakan kepada mereka bahwa setiap hari dia diberikan “informasi intelijen,” tulis laporan Washington Post mengutiip seorang pejabat AS yang mengetahui situasi pertemuan itu.
⇒Amerika dan Uni Eropa akan bahas pelarangan laptop dan tablet di pesawat
Sejumlah pejabat AS telah mengatakan kepada Reuters bahwa lembaga-lembaga pemerintah AS sedang menggodok rencana perluasan larangan membawa laptop dalam penerbangan dari sejumlah negara ke AS, serta tentang bagaimana kelompok-kelompok militan memperbarui teknik mereka dalam memasang bom di laptop.*