Hidayatullah.com—Pertemuan Liga Arab pada hari Rabu (09/09/2020) akan fokus pada pembicaraan mengenai perjuangan Palestina setelah kesepakatan normalisasi ‘Israel’-UEA, para analis mengatakan. Mereka juga memperkirakan akan terdapat perpecahan pada masalah yang akan mendominasi diskusi tersebut, Al Jazeera melaporkan.
Pada hari Ahad (06/09/2020), Otoritas Palestina (PA) mengatakan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain memblokir rancangan resolusi yang meminta negara-negara Arab untuk mematuhi rencana Inisiatif Perdamaian Arab tahun 2002 sebelum menormalisasi hubungan dengan ‘Israel’.
Inisiatif Arab yang diajukan oleh Arab Saudi tersebut menyerukan untuk membangun hubungan dengan ‘Israel’ sebagai imbalan penarikannya ke perbatasan tahun 1967, solusi yang adil bagi pengungsi Palestina dan mengembalikan Yerusalem Timur (Al-Quds) sebagai ibu kota negara Palestina di masa depan.
Seorang anggota senior dari fraksi Fatah yang mengatur PA, Hussein Hamayel, mengatakan penentangan Bahrain terhadap rancangan resolusi “menempatkannya di pihak musuh Arab dan Muslim”.
Namun pada hari Selasa (08/09/2020), juru bicara resmi Presiden PA Mahmoud Abbas mengatakan bahwa pemimpinnya “tidak akan menerima penghinaan terhadap simbol-simbol nasional negara-negara Arab, termasuk Uni Emirat Arab”.
Dalam sebuah pernyataan yang disiarkan oleh kantor berita resmi Wafa, Nabil Abu Rudeinah mengatakan bahwa negara Palestina tertarik untuk “menjaga hubungan persaudaraan dengan semua negara Arab atas dasar saling menghormati, dengan keharusan yang terakhir mengikuti Prakarsa Perdamaian Arab” .
Diumumkan oleh Presiden AS Donald Trump pada 13 Agustus, perjanjian normalisasi UEA-‘Israel’ dipandang sebagai “tikaman dari belakang dan pengkhianatan atas perjuangan rakyat Palestina.”
Perdana Menteri ‘Israel’ Benjamin Netanyahu mengatakan lebih banyak negara Arab akan segera mengikuti langkah UEA, Bahrain dan Oman adalah yang terdepan di antaranya.
“Perjuangan Palestina secara tradisional menjadi tema pemersatu untuk Liga Arab, yang tahun ini tampaknya lebih menjadi penyebab perpecahan, membuat Liga Arab semakin tidak relevan dalam mengelola urusan dunia Arab,” Andreas King, asisten profesor studi keamanan di King’s College London mengatakan.
Mosi yang akan diajukan oleh kepemimpinan Palestina kemungkinan tidak akan didukung oleh sejumlah negara Teluk, tambahnya.
“Meskipun mungkin tidak ada langkah segera oleh negara Arab lainnya untuk menormalisasi hubungan dengan ‘Israel’ secara resmi, akan ada lebih banyak pertukaran dan keterlibatan dengan ‘Israel’, yang tidak lagi terkait dengan perjuangan Palestina,” kata King kepada Al Jazeera.
“Untuk UEA, Bahrain dan Sudan, konflik Arab-‘Israel’ telah diturunkan ke masalah ‘Israel’-Palestina, yang seharusnya tidak menjadi penghalang bagi pemanasan hubungan bilateral dengan ‘Israel’.”
Marwa Fatafta, seorang anggota kebijakan jaringan kebijakan Palestina Al-Shabaka, setuju dengan hal itu, mengatakan kepentingan geopolitik akan “mengalahkan hak-hak rakyat Palestina”.
“Banyak negara Teluk sangat tertarik untuk meresmikan hubungan dengan ‘Israel’ dan (kesepakatan) UEA-‘Israel’ adalah pemecah kebekuan,” katanya. “Normalisasi antara ‘Israel’ dan negara-negara Teluk telah dilakukan, dan sekarang tinggal masalah waktu.”
“Apa yang mungkin akan keluar dari Liga Arab adalah basa-basi yang biasa didaur ulang kepada rakyat Palestina,” tambahnya.
Sikap Saudi
Liga Arab, berbeda dengan permintaan yang diberikan Abbas untuk mengadakan sesi darurat setelah AS mengumumkan Rencana Perdamaian Timur Tengah Trump, menolak untuk melakukan hal yang sama begitu berita tentang perjanjian UEA-‘Israel’ diumumkan.
Hal ini menyebabkan Saeb Erekat, sekretaris Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), meminta ketua Liga Arab Ahmed Aboul-Gheit untuk mengutuk kesepakatan normalisasi UEA dengan negara penjajah itu – atau mundur.
“Jika dia tidak dapat mengeluarkan pernyataan yang mengutuk normalisasi UEA-‘Israel’, dia harus mengundurkan diri,” kata Erekat kepada PalestineTV.
Dan sementara, Arab Saudi telah menyatakan tidak akan menormalisasi hubungan dengan Israel tanpa mengamankan kepentingan Palestina, meski Riyadh juga tidak mengutuk keputusan UEA.
“Arab Saudi akan secara lisan mendukung perjuangan Palestina, masalah Yerusalem, dan Prakarsa Perdamaian Arab,” kata King. “Namun, masih harus dilihat apa yang dilakukan Riyadh dalam hal tindakan terhadap masalah tersebut.”
Kerajaan penjaga Masjidil Haram tersebut dapat memilih kesempatan untuk menopang dukungan untuk Inisiatif Perdamaian Arab, lanjut King, sementara secara bersamaan tidak mengambil sikap yang kuat terhadap normalisasi, sehingga membiarkan pintu terbuka bagi negara-negara Arab untuk berurusan dengan ‘Israel’ sesuai keinginan mereka.
“Dengan UEA sebagai negara Arab terkemuka yang telah mengorbankan perjuangan Palestina untuk memuaskan kepentingan nasional Emirat dengan ‘Israel’, akan sulit untuk membangun dukungan yang kuat bagi Prakarsa Perdamaian Arab dalam pengaturan multilateral ini,” katanya.
Fatafta mengatakan Arab Saudi akan tetap berpegang pada rencana Inisiatif Perdamaian Arab, lebih demi kenyamanan, sementara pada saat yang sama memupuk hubungan yang lebih hangat dengan ‘Israel’.
“Arab Saudi dalam beberapa kesempatan selama bertahun-tahun menunjukkan minat untuk bekerja sama dengan Israel terutama dengan meningkatnya ancaman dari Iran,” katanya.
“Faktanya, Arab Saudi memfasilitasi kesepakatan normalisasi antara ‘Israel’ dan UEA dengan membuka wilayah udaranya untuk penerbangan langsung antara kedua negara.”*