Hidayatullah.com—Badan regulasi media Pakistan telah melarang semua jaringan televisi dan stasiun radio menyiarkan program yang berhubungan dengan Hari Valentine, menurut sebuah pernyataan, sesuai dengan perintah pengadilan lapor Aljazeera pada Kamis, 8 Februari 2018.
Otoritas Regulasi Media Elektronik Pakistan (PEMRA) mengumumkan pelarangan itu pada Rabu, sesuai dengan perintah dari Pengadilan Tinggi Islamabad yang dikeluarkan pada tahun lalu.
Hari Valentine, yang dinamakan menurut nama seorang santo Kristen yang mati demi cinta, seringkali ditandai di Pakistan yang mayoritas beragama Islam, dengan toko-toko menjual barang bertema Valentine, restoran memberikan penawaran khusus untuk para pasangan dan toko bunga yang mengalami peningkatan penjualan.
Abdul Waheed, yang mengajukan petisi itu, mendaftarkan sebuah kasus pada pengadilan tinggi awal 2017 lalu yang memprotes bahwa perayaan Valentine’s Day telah menyebarkan “imoralitas, ketidaksenonohan dan keadaan telanjang (nudity)” di Pakistan.
Pada 13 Februari, sehari sebelum Valentine’s Day tahun lalu, Hakim Shaukat Siddiqui mengeluarkan pemberitahuan mengikat yang memerintahkan pelarangan penuh atas semua program siaran yang berhubungan dengan Hari Valentine, serta pelarangan lainnya.
“Tidak ada even resmi yang boleh diselenggarakan maupun even apapun di ruang publik,” perintah pengadilan kala itu.
Putusan final belum dikeluarkan terkait kasus ini, yang telah berlangsung selama lebih dari satu tahun.
Kasus 2017 itu terjadi setelah Presiden Pakistan Mamnoon Hussain pada tahun sebelumnya dengan marah menyatakan bahwa perayaan Valentine merupakan budaya impor yang mengancam nilai-nilai Pakistan.
“Valentine’s Day tidak ada hubungannya dengan budaya kita dan harus dihindari,” kata Hussain saat itu.
Sebelumnya, otoritas sipil telah mengabaikan pelarangan itu, dengan mengatakan mereka tidak dapat menutup setiap bisnis yang mengiklankan promosi terkait perayaan Hari Valentine.
Benturan Budaya
Hari libur yang bersifat komersial dan perayaan seperti Valentine’s Day semakin menjadi tempat terjadinya kontesasi budaya di Pakistan.
Tahun lalu, toko-toko online mengiklankan ‘Black Friday’ pada November – sejalan dengan sebuah tradisi yang diikuti sebagian besar di Amerika Serikat setelah hari libur Thanksgiving –menghadapi reaksi keras para pengguna media sosial, yang menuduh mereka merendahkan hari suci umat Islam.
Kontesasi itu terhadap pengaruh Barat juga kadang-kadang menyebabkan protes dan serangan.
Pada 2013, aktivis sosial terkenal Sabeen Mahmud menyelenggarakan demonstrasi berjuluk “Pyaar ho jaane do” (‘Let love happen’) di selatan kota Karachi, menyerukan perlawanan terhadap pelarangan Hari Valentine.
Mahmud menerima beberapa ancaman pembunuhan karena sikapnya itu. Pada April 2015, dia ditembak mati oleh penyerang bermotor, beberapa menit setelah mengadakan sebuah diskusi kontroversial terkait hak etnis Baloch.
Dalam wawancara yang dilakukan dari penjara, Saad Aziz, yang telah dinyatakan bersalah karena pembunuhan itu, mengutip aktivitasnya terkait Valentine’s Day sebagai salah satu alasan dia menjadi target pembunuhan.
“Tidak ada satupun alasan khusus: dia secara umum mempromosikan nilai liberal dan sekuler,” Saad mengatakan pada majalah Pakistan, Herald. */Nashirul Haq AR