Hidayatullah.com—Negara dalam keadaan darurat telah ditetapkan di Ethiopia, sehari setelah tanpa diduga-duga Hailemariam Desalegn meletakkan jabatannya sebagai perdana menteri.
Sebuah pernyataan yang disiarkan media milik pemerintah mengatakan bahwa tindakan itu diambil guna menghentikan gelombang protes anti-pemerintah, lapor BBC Jumat (16/2/2018).
Ratusan orang telah tewas dalam tiga tahun kerusuhan di negara itu.
Keadaan darurat selama 10 bulan yang berakhir tahun lalu gagal menghentikan aksi protes, demikian pula pembebasan ribuan pendukung oposisi dari penjara.
Tidak jelas sampai kapan keadaan darurat kali ini diberlakukan, dan apa saja pembatasannya.
Pemerintah terpaksa memberlakukan keadaan darurat karena jalan-jalan di Ethiopia tidak pernah sepi dari unjuk rasa.
Beberapa pekan terakhir pemerintah telah membebaskan ratusan oposisi dari tahanan, tetapi aksi protes tidak juga menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.
Hari Kamis (15/2/2018) Hailemariam mengatakan bahwa dirinya memutuskan mengundurkan diri dari kursi perdana menteri dengan harapan hal itu akan membantu mengakhiri pertikaian politik yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.
“Saya melihat pengunduran diri ini vital guna mewujudkan reformasi yang akan mendatangkan kedamaian dan demokrasi berkelanjutan di negeri ini,” kata Heilemariam.
Demonstrasi-demonstrasi politik di Ethiopia berawal di Oromia pada November 2015. Unjuk rasa kemudian meluas ke daerah Amhara.
Oromia dan Amhara adalah kampung halaman dua etnis terbesar di negara itu.
Banyak orang di daerah tersebut yang mereasa dimarjinalkan sejak pemerintahan saat ini mulai berkuasa pada 1991.*