Hidayatullah.com—Philippe Barbarin menjadi tokoh tertinggi gereja Katolik Prancis yang menjadi terdakwa dalam kasus penyembunyian kejahatan pedofilia oleh pendeta. Para korban menudingnya tidak melaporkan seorang pendeta yang mencabuli anak-anak di era 1980-an dan 1990-an.
Dilansir DW, persidangan kasus Kardinal Philippe Barbarin dimulai hari Senin (7/1/2018) di Lyon. Pemuka Katolik itu didakwa menutup-nutupi kejahatan seksual dan gagal melindungi anak-anak dari kebejatan pendeta Bernard Preynat.
Beberapa tokoh gereja lainnya ikut menjadi terdakwa dalam kasus Barbarin, seperti Kardinal Luis Ladaria, pejabat tinggi Vatikan yang ditugaskan menangani kasus-kasus pelanggaran seksual di lingkungan gereja. Akan tetapi, Ladaria tidak akan muncul dalam pengadilan di Prancis, sebab Vatikan memberikan kekebalan diplomatik terhadapnya.
Sembilan orang mengaku pernah dicabuli oleh pendera Preynat pada tahun 1970-an dan 1980-an ketika mereka aktif dalam kegiatan kepanduan. Para korban membawa kasus mereka ke pengadilan, berharap pejabat tinggi gereja Katolik di Prancis mempertanggungjawabkan perbuatan mereka yang sudah menutu-nutupi kasus-kasus kejahatan seksual para rohaniwan gereja.
Para korban menuding Kardinal Barbarin membiarkan Preynat terus aktif sebagai pendeta dan melakukan kontak dengan anak-anak sampai pada masa pensiunnya di tahun 2015.
“Tujuan utama [dari gugatan hukum] ini adalah agar hal serupa tidak terulang kembali,” kata Francois Devaux, satu dari sembilan korban kebejatan Preynat, sebelum persidangan dimulai.
Kardinal Barabarin tidak tampak dalam misa hari Ahad (6/1/2019), tetapi mengirimkan sebuah pesan untuk jemaatnya yang dibacakan saat kebaktian.
Barbarin bersikukuh menyatakan dirinya tidak bersalah. Pengacaranya berdalih bahwa kliennya tidak pernah melanggar hukum, karena statuta limitasi kasusnya sudah kadaluarsa ketika Barbarin mengetahui perilaku bejat Preynat.
Apabila dinyatakan bersalah karena tidak melaporkan kejahatan seksual yang dilakukan Preynat ke pihak berwenang, Barbarin terancam hukuman penjara maksimal 3 tahun dan denda 45.000 euro (sekitar 728,3 juta rupiah).*