Hidayatullah.com—Abdelaziz Bouteflika akhirnya meletakkan jabatannya sebagai presiden Aljazair setelah selama berpekan-pekan rakyat menggelar unjuk rasa.
Bouteflika, yang sudah berkuasa selama 20 tahun, sebelumnya membatalkan pencalonan dirinya sebagai presiden untuk periode kelima, setelah banyak muncul penentangan.
“Presiden republik ini, Abdelaziz Bouteflika, secara resmi telah memberitahukan pimpinan dewan konstitusi perihal keputusannya untuk mengakiri mandat sebagai presiden republik ini,” bunyi sebuah pernyataan yang dipublikasikan kantor berita APS seperti dilansir BBC Selasa (2/4/2019). Stasiun televisi milik pemerintah kemudian melaporkan bahwa keputusan itu berlaku segera.
Gelombang unjuk rasa di Aljazair terjadi sejak bulan Februari lalu, setelah Bouteflika mengumumkan akan mencalonkan diri sebagai presiden periode kelima.
Tidak setuju dengan keinginannya itu, karena kondisi fisik dan kesehatan Bouteflika yang tidak baik sejak terserang stroke pada 2013, sebagian rakyat dan oposisi turun ke jalan menggelar protes.
Oleh karena unjuk rasa tidak juga reda, Bouteflika lantas mengumumkan pembatalan pencapresannya dan menunda pemilu sampai waktu yang tidak ditentukan.
Namun, rakyat melihat penundaan pemilu sebagai upaya Bouteflika melanggengkan kekuasaannya sehingga mereka terus berunjuk rasa dengan jumlah peserta lebih besar.
Kepala Staf Angkatan Darat Letjen Ahmed Gaed Salah kemudian mengusulkan agar Bouteflika dilengserkan secara konstitusional dengan menggunakan pasal dalam konstitusi perihal kondisi ketidaklayakan presiden dalam menjalankan tugas.
Namun, rakyat juga tidak puas dengan usulan itu, sebab pemerintahan yang terdiri dari kroni-kroni Bouteflika masih bercokol. Mereka menuntut pergantian rezim sepenuhnya.
Tawaran janji Bouteflika untuk meletakkan jabatan pada 28 April juga ditolak rakyat, yang turun ke jalan menuntut agar pemimpin berusia 82 tahun itu segera angkat kaki dari kursi kepresidenan.
Bouteflika selama berkuasa dituding hanya berpihak kepada sebagian kelompok masyarakat, yaitu pengusaha, politisi dan militer, guna melanggengkan kekuasaannya.
Pemilu yang awalnya dijadwalkan pada 18 April tahun ini ditunda dan partai pemerintaj Front Pembebasan Nasional (FLN) berjanji akan melakukan konferensi soal reformasi pemerintahan.
FLN menikmati kursi kekuasaan sejak negara itu memenangkan perang kemerdekaan pada 1962 melawan tentara kolonial Prancis, menyusul konflik berdarah selama tujuh tahun.
Bouteflika, yang naik ke puncak kekuasaan pada 1999, mengukuhkan kedudukannya setelah konflik berdarah yang menewaskan 150.000 orang selama perang sipil melawan kelompok-kelompok Muslim.
Ketua parlemen, Abdelkader Bensalah, akan menjadi pejabat sementara presiden selama tiga bulan sampai pemilu digelar.*