Hidayatullah.com—Rakyat Mali menunggu pemerintahan baru setelah perdana menteri dan jajarannya mengundurkan diri hari Kamis (18/4/2019) menyusul kemarahan publik, akibat kesalahan pemerintah dalam menangani konflik di bagian tengah Mali sehingga 160 orang tewas.
“Seorang perdana menteri akan segera ditunjuk dan pemerintah baru akan dibentuk setelah konsultasi dengan seluruh kekuatan politik,” bunyi pernyataan yang dirilis kantor Presiden Ibrahim Boubakar Keita seperti dilansir RFI.
Keita menerima pengunduran diri PM Soumeylou Boubeye Maiga hari Kamis setelah anggota parlemen dari partai penguasa maupun oposisi mengusulkan mosi tidak percaya untuk PM itu hari Rabu.
Tindakan itu diambil menyusul kekerasan dan pembantaian di daerah Mopti pada 23 Maret, di mana 160 orang di Ogossagou, desa dekat perbatasan dengan Burkina Faso, terbunuh.
Orang-orang suku Dogon, komunitas pemburu dan petani, dituding melakukan pembunuhan. Mereka kerap bertengkar dengan suku nomaden Fulani memperebutkan akses lahan.
Suku Fulani dianggap sebagai pendukung da’i garis keras Amadou Koufa, sementara suku Dogon membentuk kelompok bersenjata guna melindungi komunitas mereka.
Setelah terjadi pembantaian itu, kelompok-kelompok bersenjata yang ada diperintahkan untuk dibubarkan.
Keita pergi ke desa tersebut usai peristiwa tersebut, dan menegaskan bahwa dia akan menegakkan keamanan dan hukum.
Akan tetapi, puluhan ribu rakyat Mali kemudian turun ke jalan-jalan di ibukota Bamako pada 5 April. Mereka memprotes pemerintah yang dianggap tidak becus mengatasi konflik.
Hari Selasa lalu, Keita mengatakan dalam pidato yang disiarkan televisi bahwa “dirinya mendengar kemarahan rakyat.”
Pembantaian bulan Maret itu merupakan yang terburuk sejak intervensi militer tahun 2013, ketika pasukan Prancis menyerbu daerah Mopti untuk membasmi kelompok bersenjata yang dituding berafiliasi dengan Al-Qaeda.*