Hidayatullah.com—Para wanita di Bangladesh tidak lagi perlu menyebutkan bahwa mereka “perawan” di dokumen resmi pernikahan, demikian keputusan Pengadilan Tinggi.
Pegiat-pegiat hak wanita di Bangladesh hari Selasa (27/8/2019) menyambut baik keputusan pengadilan yang menyatakan kata “perawan” tidak perlu lagi disebutkan dalam akta pernikahan.
Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku saat ini, seorang calon pengantin wanita diharuskan menyebut statusnya apakah “kumari” (perawan), janda cerai atau janda mati.
Pengadilan Tinggi Bangladesh merilis informasi perihal keputusannya itu hari Ahad (25/8/2019), memerintahkan pemerintah untuk menghapus istilah tersebut dan menggantinya dengan “tidak menikah”.
Keputusan tersebut dipandang sebagai kemenangan oleh kelompok-kelompok pembela hak wanita yang selama 5 tahun menuntut agar istilah “perawan” dihapus, karena dinilai “merendahkan dan diskriminatif.”
“Keputusan tersebut memberi keyakinan kepada kami bahwa kami dapat memperjuangkan dan membuat perubahan lebih banyak lagi bagi kaum wanita di masa depan,” kata Ainun Nahar Siddiqua, dari Bangladesh Legal Aid and Services Trust (BLAST) kepada Thomson Reuters Foundation seperti dilansir DW.
Keputusan itu juga mengubah ketentuan bagi mempelai pria. Tidak seperti wanita, kaum pria sebelumnya tidak diharuskan mengungkap statusnya. Namun, dengan adanya keputusan Pengadilan Tinggi tersebut, sekarang mereka diharuskan menyatakan apakah statusnya tidak menikah, duda cerai atau duda cerai mati.
“Saya menyelenggarakan banyak pernikahan di Dhaka dan saya sering kali ditanya mengapa lelaki memiliki kebebasan tidak mengungkap statusnya, tetapi wanita tidak demikian,” kata Mohammad Ali Akbar Sarker, seorang petugas pencatat pernikahan dari Dhaka, kepada Thomson Reuters Foundation.
“Saya selalu mengatakan kepada mereka bahwa itu bukan kuasa saya. Saya kira sekarang saya tidak akan mendapatkan pertanyaan itu lagi,” imbuhnya.
Terminologi perawan sudah dipakai dalam akta pernikahan sejak 1961, ketika Bangladesh masih menjadi bagian dari Pakistan. Siddiqua dan aktivis lainnya berargumen di pengadilan bahwa istilah itu melanggar privasi wanita yang akan menikah.
Pengadilan akan merilis keputusan penuhnya pada bulan Oktober, dan perubahan di akta nikah diharapkan akan segera diberlakukan.*