Hidayatullah.com—Harga minyak melonjak setelah pembunuhan seorang jenderal ternama Iran di Iraq. Analis memperingatkan tindakan itu dapat meningkatkan ketegangan di kawasan tersebut dan mempengaruhi produksi minyak global.
Harga minyak mentah Brent naik lebih dari 3% dan pada satu titik menyentuh harga $69,50 per barel, tertinggi sejak September 2019.
Kenaikan itu terjadi setelah Jenderal Qasem Soleiman terbunuh dalam serangan drone Amerika Serikat di bandara Baghdad, yang digambarkan Pentagon sebagai “tindakan defensif”.
Melonjaknya harga minyak mendorong harga saham sejumlah perusahaan minyak terkerek naik di London stock exchange, dengan saham BP naik 2,7% dan Royal Dutch Shell naik hampir 1,9%. Akan tetapi saham perusahaan-perusahaan miyak AS seperti Exxon Mobil melorot, di tengah kejatuhan pasar yang lebih luas yang dipicu lemahnya data manufaktur dan kekhawatiran akan implikasi konflik di Timur Tengah. Dow Jones dan Nasdaq ditutup dalam posisi turun 0,8% sementara S&P 500 turun 0,7%. Penurunan itu menyusul kenaikan-kenaikan sehari sebelumnya.
Ketegangan antara AS dan Iran meningkat sejak 2018, ketika AS menarik diri dari sekepakatan nuklir yang ditujukan untuk menghambat pengembangan nuklir untuk persenjataan oleh Teheran.
AS juga memberlakukan kembali sanksi-sanksi atas Iran, tindakan yang mencabik-cabik perekonomian negeri Persia itu dan menghambat ekspor minyaknya.
Serangan belum lama ini tersebut meingkatkan resiko suplai energi di kawasan itu. Harga patokan internasional, Brent Crude, merangkak naik 3,5% hari Jumat (3/1/2020), sementara minyak AS –yang dikenal sebagai West Texas Intermediate– naik sekitar 3%.
Kenaikan itu tidak digembar-gemborkan, menunjukkan investor berharap reaksi terhadap pembunuhan tersebut dapat diredam, kata Adnan Mazarei, senior fellow di Peterson Institute fo International Economics yang juga mantan wakil direktur untuk wilayah Timur Tengah di Dana Moneter Internasional (IMF).
Namun, apabila serangan itu mengakibatkan konfrontasi militer lebih luas, maka hal itu akan dapat mendorong harga minyak lebih tinggi.
“Spertinya masalah ini tidak akan padam begitu saja,” kata Mazarei, seperti dilansir BBC.
Timur Tengah merupakan rumah bagi sejumlah produsen minyak terbesar dunia, termasuk Iraq, di mana AS dan Iran pernah bentrok sebelumnya.
Sebanyak seperlima suplai minyak global melintasi Selat Hormuz, jalan laut sempit yang memberikan akses ke Teluk Persia.
Mazarei mengatakan perekonomian negara-negara lain di kawasan itu, seperti Libanon, juga rentan. Investor dan usahawan dalam dan luar negeri sepertinya mengurangi aktivitas mereka di tengah-tengah ketidakpastian apa yang akan terjadi selanjutnya dengan konflik AS-Iran.
Akan tetapi menurut Caroline Bain, seorang analis di Capital Economics, meskipun ketegangan menurun pihaknya memperkirakan harga minyak tetap naik tahun ini disebabkan pembatasan output, melambatnya pertumbuhan produski minyak AS dan kenaikan bertahap dalam pertumbuhan perekonomian global.*