Hidayatullah.com-Israel mengenang kepergian mantan presiden Mesir Hosni Mubarak. Dalam pernyataannya untuk menandai meninggalnya mantan Presiden Mesir Hosni Mubarak, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menggambarkannya sebagai “seorang pemimpin yang membawa rakyatnya menuju perdamaian dan keamanan, untuk berdamai dengan Israel.”
Netanyahu menyebut Mubarak sebagai teman sejatinya. “Saya bertemu dengannya berkali-kali. Saya terkesan dengan komitmennya; kami akan terus mengikuti jalan bersama ini. Saya ingin menyampaikan belasungkawa kepada Presiden Sisi, kepada keluarga Mubarak dan kepada rakyat Mesir,” katanya dikutip BBC, Selasa (25/2/2020)
Reaksi aktivis Pro-demokrasi
Sementara itu, para aktivis pro-demorkasi yang membantu menggulingkan Hosni Mubarak pada tahun 2011 ikut menanggapi kematiannya di media sosial.
“Pembantai yang korup telah meninggal tanpa benar-benar bertanggungjawab terhadap kejahatannya,” aktivis Mesir Hossam al-Hamlawy menulis di Facebook.
“Di tong sampah sejarah, dan mudah-mudahan Sisi akan menerima akhir yang pantas karena pembantaiannya,” kata Hossam, merujuk pada Presiden Mesir saat ini Abdul Fattah al-Sisi, yang secara luas dituduh bahkan lebih represif daripada Mubarak. Hosni Mubarak dikenal sebagai pemimpin bertangan besi, dengan keras menumpas aksi protes terhadap kepemimpinannya.
Pada Agustus 2013, setidaknya 817 pendemo dibunuh oleh pasukan keamanan dalam sebuah demonstrasi duduk rakyat Mesir. Menurut Human Rights Watch (HRW), serangan itu sebagai salah satu “pembantaian pendemo terbesar dalam satu hari.”
Mubarak digulingkan dalam demonstrasi pro-demokrasi pada Februari 2011. Dia adalah diktator Arab kedua yang jatuh dalam gelombang demonstrasi rakyat di kawasan Timur Tengah yang dikenal sebagai “Arab Spring atau Musim Semi Arab”.
Diktator itu ditahan selama enam tahun atas dakwaan korupsi menyusul penggulingannya. Dia menghabiskan sebagian besar masa tahanannya di rumah sakit militer. Pada tahun 2012, dia dijatuhi hukuman seumur hidup karena keterlibatannya dalam pembantaian pendemo selama demonstrasi Januari 2011. Dia kemudian dibebaskan dari tuduhan itu.
Amnesty International mengatakan setidaknya 840 orang terbunuh dan lebih dari 6.000 terluka selama 18 hari demonstrasi jalan di Mesir.
“Kejatuhannya pada tahun 2011 memberi banyak harapan ketika dia dicerca,” tulis Timothy Kaldas di Twitter, yang mengambil bagian dalam demonstrasi, dan saat ini menjadi peneliti non-Residen di The Tahrir Institute yang bermarkas di Washington DC.
“Dia hidup untuk melihat seorang diktator yang lebih brutal menggantikannya yang telah begitu banyak hal buruk sehingga banyak orang sekarang merindukan Mubarak,” kata Kaldas. “Dia meninggal dengan tangan. Para pendemo yang rezimnya bunuh tidak seberuntung itu.”
Para pendukung Mubarak mengenang masa kepresidenannya sebagai periode yang stabilitas dan moderasi. Sangat kontras dengan turbulensi politik dan kesulitan ekonomi yang terjadi setelah Arab Spring.
Tetapi para kritik mengatakan penindasannya telah merampas kehidupan politik Mesir, membuka jalan bagi kekacauan dalam dekade terakhir.
“Sejarawan akan membedah warisannya,” tweet akademisi H.A. Hellyer. “Terus terang, 9 tahun setelah perlawanan #Jan25 berhasil mendorongnya dari kekuasaan, tetapi gagal untuk merevolusi politik Mesir. Hal pertama yang terlintas dalam pikiran adalah: banyak kekacauan pada dekade terakhi adalah karena kepemimpinan Muabrak,” katanya dikutip BBC.
Muhammad Hosni Sayyid Mubarakmeninggal para hari Selasa (25/2). Menurut TV nasional Mesir, sebelum meninggal, ia sempat menjalani operasi. Mantan presiden berusia 91 tahun memerintah Mesir selama 30 tahun dengan tangan besi, hingga akhirnya digulingkan tahun 2011 dalam aksi jalanan saat Musim Semi Arab. Mubarak adalah sekutu dekat Israel dan Amerika Serikat di Timur Tengah, yang selama ini bersama-sama mengekang kelompok perjuangan pembebasan Palestina.*