Hidayatullah.com–Dewan Perwakilan Rakyat (Kongres) Amerika Serikat memutuskan pada Rabu (22/7/2020) untuk meloloskan rancangan undang-undang yang membatalkan perintah kontroversial Presiden Donald Trump yang melarang masuknya imigran dari sebagian besar negara-negara mayoritas Muslim. Dengan 233 suara mendukung, dan 183 suara menolak lapor Al Jazeera.
RUU yang disebut “UU NO BAN”, secara luas didukung oleh anggota partai Demokrat namun kemungkinan kecil diloloskan Senat karena oposisi dari anggota partai Republik dan Gedung Putih. “Saat ini ada jutaan orang Amerika yang, karena larangan imigrasi Muslim, dipisahkan dari keluarga dan orang-orang terkasih: orang tua yang tidak dapat dipersatukan kembali, keluarga yang tidak dapat dipersatukan kembali, kakek-nenek yang melewatkan kegiatan keluarga,” kata Farhana Khera, direktur eksekutif Muslim Advocates, sebuah kelompok yang mendukung RUU tersebut.
RUU itu memperluas ketentuan anti-diskriminasi dalam hukum imigrasi AS dan akan membatasi kemampuan presiden AS di masa depan untuk menghalangi masuknya berdasarkan agama. Secara khusus, RUU itu akan menghentikan perintah eksekutif Trump yang memberlakukan larangan imigrasi dari sebagian besar negara bermayoritas Muslim. Larangan awal presiden menarget Iran, Libya, Somalia, Suriah dan Yaman, memantik kecaman bahwa hal itu sama dengan diskriminasi agama yang melanggar hukum. Trump kemudian memperluas larangan untuk memasukkan Venezuela dan Korea Utara, dan kemudian menambahkan Nigeria, Sudan, Myanmar dan tiga negara lainnya ke dalam daftar.
Dalam debat Rabu, Parta Demokrat berencana untuk berbagi cerita dari puluhan konstituen Amerika mereka yang telah melihat anggota keluarga dicegah memasuki AS karena alasan sewenang-wenang di bawah larangan tersebut. Namun, RUU itu mungkin tidak akan setujui Senat yang dipimpin oleh Republik, yang berarti prospek untuk disahkan pada tahun ini akan redup. Sebaliknya, masalah ini akan diperjuangkan dalam kontes pemilihan presiden AS.
Pada hari Senin (20/7/2020), kandidat presiden dari partai Demokrat Joe Biden, yang mendekati pemilih Muslim, mengatakan kepada sebuah organisasi politik Muslim bahwa dia akan membatalkan larangan itu jika terpilih sebagai presiden “pada hari pertama”. Biden muncul melalui video pada konferensi virtual yang diselenggarakan Emgage Action dan dihadiri oleh 3.000 pemilih Muslim Amerika.
“Komunitas Muslim adalah yang pertama merasakan serangan Donald Trump terhadap komunitas kulit Hitam dan cokelat di negeri ini, dengan larangan Muslimnya yang kejam. Pertarungan itu adalah rentetan pembuka dari tekanan dan penghinaan konstan yang terjadi selama hampir empat tahun,” Biden mengatakan kepada kelompok itu.
“Jika saya mendapat kehormatan menjadi presiden, saya akan mengakhiri larangan Muslim pada hari pertama,” kata Biden.
Wa’el Alzayat, CEO Emgage Action, sebuah organisasi keterlibatan Muslim-Amerika dan organisasi mobilisasi politik Muslim-Amerika, mengatakan, “Sumpah Biden untuk mengakhiri larangan Muslim pada hari pertama kepresidenannya sangat pedih.”
“Ini menunjukkan komitmennya untuk mengakhiri bentuk Islamophobia yang dilembagakan ini yang telah menyebabkan penderitaan besar bagi komunitas Muslim global,” kata Alzayat kepada Al Jazeera.
Dalam pidato politik di Gedung Putih pekan lalu, Trump mengutip larangan bepergiannya saat ia berusaha untuk menarik perbedaan antara dirinya dan Biden. Trump menuduh Biden ingin “mengakhiri semua larangan bepergian, termasuk dari wilayah jihadis”, dan ia menyiratkan Biden akan mengizinkan “orang-orang yang akan masuk dan meledakkan kota-kota kita, melakukan sesuatu”.
Tapi retorika itu memungkiri fakta dan data tentang bagaimana larangan bepergian telah diterapkan untuk secara efektif melarang imigrasi dari negara-negara yang mayoritas Muslim, kata Khera. “Argumen mereka adalah apa yang telah dikatakan Trump sejak awal – yaitu, mereka mencoba untuk membungkus kefanatikan yang mencolok dalam selubung keamanan nasional yang tidak memenuhi apa ancaman sebenarnya dan itu bukanlah kenyataan siapa yang sedang dikecualikan dari negara,” katanya.
RUU itu akan mengharuskan Departemen Luar Negeri AS, berkonsultasi dengan Departemen Keamanan Dalam Negeri, untuk memberikan laporan publik tentang jumlah orang yang ditolak masuk dari negara tertentu. Demokrat telah merencanakan untuk membawa RUU NO BAN ke DPR untuk pemungutan suara pada awal Maret, tetapi menarik RUU itu karena pandemi yang menyebabkan Covid-19.
Partai Republik telah merencanakan untuk menyerang RUU itu dengan menyebutnya sebagai tawaran yang tidak bertanggung jawab oleh kongres Demokrat untuk mencegah Trump memberlakukan larangan perjalanan demi membatasi penyebaran virus. RUU tersebut kemudian diamandemen untuk memberikan pengecualian “keselamatan publik” yang memungkinkan presiden membatasi perjalanan seperlunya “untuk menahan penyakit menular yang penting bagi kesehatan masyarakat”.
“Kami tidak terlalu senang dengan bahasa yang ditambahkan pada saat-saat terakhir,” kata Iman Awad, direktur legislatif untuk Emgage Action. “Kami pikir itu menstigmatisasi komunitas imigran dan terutama selama retorika tinggi yang datang dari Presiden Trump, kami khawatir tentang mengikat salah satu stereotip negatif ini kepada komunitas imigran,” tambah Awad kepada Al Jazeera.
Pemerintahan Trump, melalui perintah eksekutif lain yang dikeluarkan pada bulan April, telah secara efektif menutup imigrasi ke AS saat ini karena pandemi. Rancangan undang-undang untuk mencabut apa yang disebut “larangan Muslim” diperkenalkan oleh Demokrat pada April 2019 dan disponsori di DPR oleh Perwakilan Judy Chu dari California dan di Senat AS oleh Chris Coons dari Delaware.
Mahkamah Agung AS telah memutuskan pada tahun 2017 bahwa presiden memiliki wewenang untuk memberlakukan larangan berdasarkan hukum imigrasi AS yang ada. Selama kampanye pemilihannya pada tahun 2015, Trump telah menyerukan “penutupan total dan penuh Muslim memasuki Amerika Serikat”.*