Hidayatullah.com—Presiden Prancis Emmanuel Macron memperingatkan Iran pada Rabu (12/08/2020) untuk tetap berada di luar Lebanon saat negara itu membangun kembali negaranya akibat ledakan dahsyat pekan lalu.
Macron mengatakan kepada Presiden Iran Hassan Rouhani bahwa sangat penting “bagi semua kekuatan terkait … untuk menghindari campur tangan dari luar dan untuk mendukung penempatan pemerintah yang dapat mengelola keadaan darurat,” Arab News melaporkan.
Sedikitnya 171 orang tewas dan lebih dari 6.000 terluka ketika 2.750 ton amonium nitrat meledak di sebuah gudang di pelabuhan Beirut pekan lalu, menghancurkan sebagian besar kota dan menyebabkan sekitar 300.000 orang kehilangan tempat tinggal.
Macron adalah pemimpin dunia pertama yang mengunjungi Beirut setelah ledakan dan telah memimpin tanggapan internasional, mengadakan konferensi virtual yang menjanjikan 300 juta Dolar sebagai bantuan.
Dr. Hamdan Al-Shehri, seorang analis politik dan sarjana hubungan internasional Saudi, mengklaim bahwa peringatan presiden Prancis kepada Iran merupakan perkembangan yang signifikan.
“Inilah inti sebenarnya dari masalah ini,” katanya kepada Arab News. “Iran, melalui wakilnya, sebuah milisi teroris bersenjata berat, telah mendatangkan malapetaka di Lebanon. Orang-orang Iran telah menyandera negara itu dengan todongan senjata. Macron telah melakukan hal yang benar dengan memanggil mereka.”
Al-Shehri mengatakan pengunduran diri Perdana Menteri Hassan Diab dan pemerintahannya adalah langkah pertama dalam membebaskan Lebanon dari cengkeraman Iran dan Hizbullah.
“Tapi ini tidak cukup. Jika pemerintahan ini digantikan oleh pemerintahan lain yang berada di bawah kekuasaan Hizbullah, maka itu akan kembali ke titik awal.“ tambahnya.
“Penting bagi Prancis dan kekuatan dunia lainnya untuk memastikan bahwa Hizbullah dilucuti dan menyerahkan senjatanya kepada tentara Lebanon; hanya dengan demikian akan ada stabilitas. Selama ada negara dalam suatu negara, tak seorang pun dari komunitas global akan maju untuk menyelamatkan Lebanon dari kesulitan yang ditemuinya,” ungkapnya.
Al-Shehri juga mengklaim Macron telah memahami masalah dengan benar dan telah melakukan hal yang benar dalam memperingatkan Iran. “Sekarang dia harus mengambil kesimpulan logis ini dan mengakhiri mimpi buruk bagi Lebanon, rakyat Lebanon, dan kawasan itu,” katanya.
“Prancis akan menemukan banyak pihak di komunitas internasional dan regional dalam upayanya untuk membersihkan kekacauan di Libanon.”
Senator Prancis Natalie Goulet mengatakan kepada Arab News bahwa Prancis dan Uni Eropa “bermain api” atas Hizbullah.
“Sebagai satu-satunya partai Lebanon yang tidak pernah melucuti senjatanya, paramiliter dan jaringan internasionalnya menjadikannya kekuatan yang lebih kuat daripada tentara Lebanon,” katanya.
“Bukan tanpa alasan banyak negara, termasuk AS, mengklasifikasikan gerakan ini sebagai organisasi teroris. Tetapi UE dan Prancis membuat perbedaan yang sepenuhnya dibuat-buat antara cabang paramiliter, yang terkait dengan terorisme, dan cabang politik.
Bagi saya tampaknya utopis untuk berpikir bahwa Iran akan menarik dukungan dari wakilnya.Dan ada risiko serius bahwa Hizbullah akan menggunakan bantuan keuangan internasional untuk Lebanon untuk mengikuti agendanya, yang ditetapkan oleh Teheran. Kita tidak boleh buta atau naif, ” tambahnya.
Sebelumnya, Macron dikecam karena retorika kolonialnya ketika mengunjugi Beirut pada Kamis (06/08/2020). Wartawan Palestina yang berbasis di Iran Abdelkader Fayez menyatakan bahwa Macron: “Mengesampingkan krisis internalnya dan kegagalan internasional, dan bertindak seolah-olah Lebanon adalah koloni Prancis, berbicara tentang perubahan rezim, kontrak politik baru, dan Lebanon baru,” sebagaimana dikutip oleh Middle East Monitor.
Sejarawan Palestina yang berbasis di Inggris Bashir Nafie juga berkicau: “Prancis sudah lama tidak menyaksikan seorang presiden yang tidak mampu mengekang ambisi imperialisnya seperti Emmanuel Macron.”
Prancis menjajah Lebanon antara 1920 dan 1943 setelah Perang Dunia I, sesuai dengan perpecahan yang diberlakukan oleh Perjanjian Sykes-Picot yang mengesahkan sistem mandat atas wilayah yang dikuasai Kesultanan Utsmani.
Ledakan ini memperdalam keluhan negara yang telah menderita akibat krisis ekonomi yang keras dan polarisasi politik yang parah selama berbulan-bulan, dalam situasi rumit di mana partai-partai regional dan internasional saling tumpang tindih. Kabinet Pemerintah Perdana Menteri Hassan Diab telah mengajukan pengunduran diri pada Senin(10/08/2020).
Protes besar-besaran oleh masayarakat masih terus berlangsung, menuntut reformasi untuk melenyapkan elit penguasa yang dianggap korup dan telah berkuasa berpuluh tahun lamanya. Perdana Menteri Hassan Diab dan kabinetnya mengundurkan diri di tengah protes, demonstrasi kedua kalinya telah menyebabkan jatuhnya pemerintah Lebanon dalam 12 bulan terakhir.
Tetapi pengunjuk rasa mengatakan butuh lebih banyak kepala untuk turun jika menginginkan perubahan mendasar pada politik Lebanon.
Dan semua ini terjadi dalam konteks krisis keuangan dan pandemi COVID-19, dengan negara tersebut telah mencatat peningkatan infeksi sejak ledakan pelabuhan.*