Hidayatullah.com—Ratusan mahasiswa internasional di tiga universitas besar di London, Inggris, menolak membayar uang kuliah karena mereka belajar kebanyakan dari kamar tidur dan harga pendidikan yang mencapai £29.000 setahun tidak pantas.
Dilansir The Guardian Sabtu (13/3/2021), lebih dari 300 mahasiswa Royal College of Art, dua pertiga di antara berasal dari luar negeri, melancarkan aksi mogok bayar kuliah pada bulan Januari, sebagai upaya mendesak pihak universitas agar membuat kebijakan refund untuk perkuliahan tahun lalu yang nyaris seluruhnya terkendala pandemi Covid-19.
Para mahasiswa internasional, yang membayar £29.000 setahun untuk program pendidikan tingkat master (S2) di RCA, nekat melakukan aksi mogok itu meskipun visa mereka terancam dicabut. Setelah ada surat dari pihak perguruan tinggi yang mengancam akan menskors mereka, sebagian gentar, tetapi Wakil Rektor RCA Paul Thompson Dalam rapat tanggal 4 Maret mengkonfirmasi 93 mahasiswa masih menolak untuk membayar uang kuliah. Mahasiswa yang melakukan aksi mogok pekan ini lewat email diberitahu bahwa mereka akan diskors jika tidak melunasi uang kuliah sampai hari Senin.
Sementara itu, di Soas University of London, Di mana mahasiswa tingkat sarjana membayar £18.630 setahun, sekitar 100 mahasiswa enggan melunasi uang kuliah; mogok bayar SPP juga terjadi di Goldsmiths, University of London.
Syahadah Shahril, mahasiswa program master asal Singapura yang belajar di University of the Arts London yang juga ketua kelompok mahasiswa Pause or Pay, membantu penyelenggaraan aksi mogok itu dan berencana melakukan seruan pra-mogok pada hari Senin dengan target para mahasiswa internasional di kampusnya.
Shahril mengatakan mahasiswa seni terapan dan desain di UAL dan RCA kesulitan ketika harus melakukan praktik.
“Saya melihat mahasiswa-mahasiswa terpaksa melakukan pencairan logam di rumah dan tangannya terbakar, ada juga yang terpaksa melukis di tempat yang sempit tanpa ventilasi,” ujarnya.
“Para mahasiswa kerepotan menyewa studio swasta yang tidak sanggup dibayarnya.”
Kebanyakan uang kuliah mahasiswa Inggris, £9.250 setahun, dibayarkan ke universitas oleh Student Loans Company, sehingga mereka tidak dapat menahan uang pembayaran kecuali didepak dari kampus. Akan tetapi, mahasiswa internasional yang membayar jauh lebih mahal dan mahasiswa tingkat master membayar secara langsung, dan karena itu aksi mogok bayar itu bisa mempengaruhi kocek universitas.
Isaac Jones (bukan nama asli), seorang mahasiswa master di Goldsmiths, berkata, “Para mahasiswa internasional yang berbicara dengan saya mengaku sangat tersinggung. Mereka menerima perlakuan tidak menyenangkan dan mereka tidak senang diperlakukan seperti sapi perah.”
Mereka berharap pihak kampus tidak melaporkan para mahasiswa internasional yang melakukan aksi protes yang berisiko pada visanya, sebab mereka tidak ingin reputasinya di luar negeri rusak.
Jones mengatakan para mahasiswa di Goldsmiths berpendapat seharusnya pihak kampus melobi pemerintah agar dilakukan refund uang kuliah secara nasional.
Seorang mahasiswi Jerman di RCA, yang menolak membayar uang setengah dari uang kuliahnya £12.600 untuk tahun ini sejak Januari, mengatakan bahwa para mahasiswa sangat kecewa.
“Sungguh luar biasa uang kuliah bagi kami sebenarnya justru menjadi naik selama Covid.”
Sebagai mahasiswi seni terapan dia tidak bisa melakukan praktik yang membutuhkan studio dan fasilitas lain, dan justru lebih banyak belajar dari dalam kamar tidurnya.
Simon Marginson, profesor pendidikan tinggi di University of Oxford, mengatakan bahwa butuh keberanian bagi mahasiswa internasional untuk melakukan protes, sebab tindakan itu dapat mempengaruhi status visanya dan ketergantungan terhadap “kebaikan institusi tempatnya berkuliah” menjadikan mereka rentan.*